Langsung ke konten utama

Sedikit Cerita di Puskesmas

Hari ini ke puskesmas, saat mau ngambil nomor antrian, saya mencet tombolnya lambat karena nggak mau salah ambil nomor antrian. Kan nggak lucu kalau saya ngambil nomor prioritas. Eh ada yang "ngajarin" saya dong. Dia duduknya nggak jauh dari alat print nomor antrian.

"Pencet yang atas Mbak."

Saya diemin, nggak saya toleh.

"Pencet satu kali lagi Mbak."

Masih saya diemin nggak saya toleh.

"Udah selesai Mbak, cukup 2x aja mencetnya."

Mau saya jawab "Saya tahu kok Mbak cara ngambil nomor antrian" tapi nggak lucu ngajak orang berantem di Puskesmas. Mungkin dia merasa niat dia baik dan dia satu-satunya orang yang tahu cara menggunakan alat tersebut. Sudahlah. Saya ambil nomor antrian dan duduk jauh dari orang tersebut.

Kemudian setelah selesai antri di loket, saya antri lagi di depan ruang periksa. Saya duduk tidak jauh dari alat tensi. Cara menggunakannya mudah, ulurkan lengan kita dan posisikan lengan sesuai dengan petunjuk gambar, lalu pencet start. Beberapa kali saya menemukan pasien yang tidak mengikuti petunjuk dengan benar.

Saya hanya diam. Nggak ngasih petunjuk ke mereka. Sebab saya bukan petugas puskesmas. Petugas puskesmas yang berhadapan dengan pasien-pasien tersebut dengan sabar memberikan intruksi yang benar untuk menggunakan alat tensi tersebut. 

Saya menjaga ekspresi wajah saya datar. Tidak menunjukkan emosi apa pun pada pasien-pasien tadi. Wajar kalau mereka tidak bisa menggunakan alat tensi tersebut. Alatnya lumayan canggih dan mereka mungkin baru pertama kali periksa di sini. Bukan bagian saya buat ngajarin pasien tersebut walaupun saya tahu cara yang benar.

Satu hal yang bisa saya lakukan saat duduk antri di puskesmas adalah menyerahkan kursi yang saya duduki pada orang yang lebih menbutuhkan. Bukan sibuk membantu petugas puskesmas.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memulai di Usia 37 Tahun

Kamu tahu trend memulai masa remaja di umur 30-an yang sedang banyak dibagikan di Tiktok? Itu yang sedang saya alami sebenarnya. Jadi beberapa bulan ini saya sedang kembali menjalani ukur '20' tahun saya. Saya kembali menjadi gadis yang single dan menjalani hobi saya tanpa direpotkan kegiatan sebagai istri atau ibu. Sebab ketiga anak saya sudah bukan bayi lagi, saya tak perlu menggendong dan menyusui mereka. Setelah 10 tahun menikah saya diberikan begitu banyak space atau waktu untuk diri saya sendiri. Selama ini saya pikir kehidupan saya berhenti setelah menikah. Karena saya akan sibuk mengurus suami, anak, dan rumah. Ternyata saya salah. Semuanya bergantung pada siapa yang kamu nikahi. Karena kehidupan sebagai istri bukan berarti kamu kehilangan waktu untuk diri kamu sendiri. Selama tanggung jawab tidak kamu abaikan dan suami juga mendukung kamu juga bisa menjadi remaja kembali. Berapa pun usia kamu sekarang. Jadi kalau ada hal-hal yang sebelumnya tak bisa kamu capai saat usi