Langsung ke konten utama

Takut Punya Anak Pertama Perempuan


Trauma, mungkin itu lebih tepat penyebutannya. Saya takut sekali punya anak pertama perempuan. Takut dia menjadi seperti Kaklong. Walaupun saya tahu, sifat anak ya menurun dari orang tuanya. Mau anaknya baik, kita perbaiki diri kita dulu sebagai orang tua. Tidak ada orang tua yang sempurna tapi impian saya cukuplah saya dan suami menjadi orang tua yang "normal". Alhamdulillah dikasih berkah suami yang normal, suami yang bisa disebut sebagai suami baik pada umumnya. Di atas bare minimum sedikit. Cukuplah. Bukan suami yang pandai merayu memanja dengan kata-kata. Tapi tugas yang paling penting dia kerjakan.

Menafkahi keluarga. Banyak sekali laki-laki di luar sana yang jangankan menafkahi keluarganya dengan layak, tidak menjadi beban pun dia tidak mampu. Tak dapat saya bayangkan kalau saya punya suami yang seperti itu. Bagaimana masa depan saya dan anak-anak saya nantinya. Tentunya saya tidak mau jadi tulang punggung dan sekaligus mengerjakan semua pekerjaan domestik sementara suami tidak menafkahi dan tidak membantu apa-apa malah minta penuhi pelayanan untuknya. Memangnya ada suami seperti itu? Ada dong! Anehnya lagi istrinya setia menghadapi semua tantrumnya juga.

Bisa dibayangkan punya suami demikian? Jangan dibayangkan. Minta dijauhkan saja. Amit-amitlah ya.

Setelah 1.5 tahun menikah, saya melahirkan anak pertama laki-laki. Alhamdulillah anak lelaki yang lembut hatinya. Laki-laki yang mudah tercurah air matanya. Saat dia punya adik dia tidak menunjukkan rasa iri atau memusuhinya. Beda sekali saat saya lahir yang otomatis dimusuhi kakak sulung dan disiksa mental dan fisik selama 25 tahun. Selama 25 tahun itu pula harus selalu mengalah jangan sampai kakak sulung tersinggung, ngamuk, tantrum, guling-guling di tengah jalan kalau dia tidak dipenuhi keinginannya.

Setelah melahirkan anak kedua, lalu ketiga. Apa yang saya bayangkan selama ini, bagaimana nanti kalau ada yang sibling rivalry akut sampai membahayakam nyawa adik-adiknya ternyata tidak terjadi. Apa yang dulunya saya alami, insyaAllah tidak terulang pada anak-anak saya. Saya juga hanya punya satu anak perempuan yang begitu mirip dengan saya. Untunglah saya tidak memberinya saudara perempuan. Cukup dua saudara laki-laki saja. Di dirinya, saya melihat diri saya. Diri saya yang seharusnya hidup bahagia tanpa saudara perempuannya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memulai di Usia 37 Tahun

Kamu tahu trend memulai masa remaja di umur 30-an yang sedang banyak dibagikan di Tiktok? Itu yang sedang saya alami sebenarnya. Jadi beberapa bulan ini saya sedang kembali menjalani ukur '20' tahun saya. Saya kembali menjadi gadis yang single dan menjalani hobi saya tanpa direpotkan kegiatan sebagai istri atau ibu. Sebab ketiga anak saya sudah bukan bayi lagi, saya tak perlu menggendong dan menyusui mereka. Setelah 10 tahun menikah saya diberikan begitu banyak space atau waktu untuk diri saya sendiri. Selama ini saya pikir kehidupan saya berhenti setelah menikah. Karena saya akan sibuk mengurus suami, anak, dan rumah. Ternyata saya salah. Semuanya bergantung pada siapa yang kamu nikahi. Karena kehidupan sebagai istri bukan berarti kamu kehilangan waktu untuk diri kamu sendiri. Selama tanggung jawab tidak kamu abaikan dan suami juga mendukung kamu juga bisa menjadi remaja kembali. Berapa pun usia kamu sekarang. Jadi kalau ada hal-hal yang sebelumnya tak bisa kamu capai saat usi