Pernah
mengantarkan anak ke sekolah formal pertamanya? Bukan sekolah dasar
ya tapi taman kanak-kanak alias TK. Saya sendiri tak ngotot anak
harus sekolah TK baru sekolah dasar. Sebab saya dulunya tidak
merasakan sekolah TK. Sampai sekarang pun TK bukan pendidikan formal
wajib yang harus ditempuh anak. Namun mengapa TK tetap laris dan
banyak yang mau menyekolahkan anaknya di usia dini?
Raza
sendiri terlihat tidak keberatan karena di sekolahnya banyak mainan.
Lalu bagaimana dengan Umak dan Abahnya? Seperti yang saya katakan
sebelumnya, saya tak memaksa dia wajib TK. Kalau dia masih ingin main
di alamnya sendiri ya tak perlu repot punya sekolah dengan rutinitas
yang sama sampai 2 tahun. Saya orang kampung, kenalnya SD soalnya
dulu TK yang ada lumayan jauh dari rumah jadi tak ada cerita orang
tua saya memasukkan saya di sana. Intinya tak memungkinkan untuk
sekolah di taman kanak-kanak yang ada di Sentebang, Jawai. Walaupun
saya suka sekali melihat sekolahnya. Banyak mainannya. Itu poin
paling penting.
Berbeda
dengan suami saya yang akhirnya mendaftarkan dengan mengurus semua
kebutuhan Raza untuk masuk sekolah formal pertamanya. Saya bahkan tak
tahu nama TK-nya kalau tidak buka Google. Karena itu tadi, saya tak
begitu tertarik untuk memasukkannya sekolah. Usia 4 tahun berada di
sekolah, bagaimana dia akan berinteraksi dengan orang lain? Itu yang
saya bayangkan. Bahkan saya sudah siap kalau dia batal sekolah lalu
memilih pulang.
Ternyata
pikiran saya salah. Walaupun Raza sepanjang hari pertamanya diam saja
dan tak mengikuti arahan untuk bertepuk tangan atau bernyanyi.
Ditanya guru namanya siapa, dia tetap tak berbunyi. Itulah dia Raza,
tak akan berbicara kalau sedang tidak mood
untuk mengucapkan apa-apa. But he is doing great.
Tidak tantrum. Tidak menangis. Paling penting tidak minta pulang.
Saya berusaha menjaga jarak darinya. Sebab saya tahu nantinya dia
akan berada di sekolah lebih lama dan saya tak mungkin menungguinya
selama 2 tahun penuh. Rasanya malah saya yang sulit untuk beradaptasi
untuk berkenalan dengan orang tua anak lain. Soalnya tak ada yang
saya kenal dan agak malu buat kenalan. Saat orang tua lain begerombol
di depan pintu kelas, saya memilih duduk di taman bermain. Bukankah
kita sendiri yang memilih untuk memasukkan dia ke sekolah ini?
Artinya kita siap untuk membiarkan dia menjadi murid. Jangan sampai
orang tua ikutan mengganggu proses belajar mengajar bukan?
Sampai
selesai, Raza berada di kelas tanpa saya tunggui atau pangku. Itu
kelasnya bukan kelas saya. Saya tetap berada di luar dan menunggu.
Menunggu jika guru mengalami masalah menghadapi Raza. Lagi-lagi Raza
baik-baik saja sampai jam pulang. Sayanya yang parno bukan Raza.
Baginya ini tak lebih dari jalan-jalan dan bermain. Cuma ada guru dan
Umak di sekolahnya.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).