Orang
tua saya dulu bukan orang kaya raya yang mampu membelikan semua yang
diinginkan dan dibutuhkan anaknya. Namun satu hal yang selalu saya
pahami dari mereka adalah mereka tak pernah mengecilkan impiannya dan
impian kami, anak-anaknya. Tidak pernah saya mendengar ibu saya
mengatakan bahwa saya tidak bisa karena kami dari keluarga yang
seadanya. Saya tak akan mengatakan bahwa saya dari keluarga yang
miskin karena meskipun kami tidak banyak uang, setidaknya orang tua
saya masih mampu mencukupi kebutuhan sandang dan pangan kami. Tidak
mewah, tapi tak pernah kami tidak makan hanya karena tak punya uang
atau tak punya beras.
Saya
ingat kami sering makan lauk dari ikan yang kami pancing atau makan
nasi hangat dengan telur rebus dengan kecap asin yang membasahi
bagian kuningnya. Nasi dimasak bersamaan dengan telur rebus tersebut.
Jadi bagian kulit telur penuh oleh nasi. Lauk begitu saja sudah cukup
mengenyangkan dan menyenangkan. Tak pernah meminta sesuatu yang tak
mampu orang tua saya sediakan kala itu. Sebab saya tahu, kami bukan
orang kaya. Sesekali kami akan dibelikan masing-masing sebungkus
Twisko, snack rasa jagung dengan hadiah mainan di dalamnya. Hadiahnya
lucu-lucu dan itu juga sudah membahagiakan, setidaknya bagi saya, itu
adalah kenangan yang indah di dalam kekurangan yang kami punya.
Umak
dan Abah saya adalah orang yang sangat positif, pikiran mereka
optimis. Tidak ada kata-kata pesimis meskipun banyak hal mungkin
terasa tak mungkin. Mereka membiarkan anak-anaknya memuat impian
sebesar-besarnya. Setinggi-tingginya. Bisa jadi karena mimpi itu
gratis. Tak perlu mengeluarkan uang. Sehingga bagi mereka, mimpi
adalah harapan yang tak perlu mereka beli dengan uang yang kadang
mereka miliki, kadang habis dalam satu hari. Itu yang sangat saya
syukuri. Sebab jika orang tua saya mengecilkan impian saya,
mengecilkan rezeki saya, mungkin saya tidak akan memiliki apa yang
saya miliki sekarang.
Setidaknya
saya bisa mengatakan bahwa kehidupan yang saya berikan secara materi,
untuk kedua anak saya, jauh lebih baik dari yang saya dapatkan dulu.
Mereka tak perlu ragu menyebutkan ingin makan sesuatu ketika lapar,
tak perlu hanya menatap mainan di toko hanya karena orang tuanya tak
mampu membelikannya karena harganya yang mahal. Mereka bisa membeli
baju baru tanpa perlu menunggu lebaran tiba. Saya ingat betul, saya
hanya bisa beli baju baru ketika mendekati hari raya puasa. Hidup
kami memang musim paceklik, tapi musim itulah yang menjadikan saya
yang sekarang. Menjadikan saya orang tua yang banyak bersyukur karena
tak perlu mengulang musim yang sama untuk anaknya.
Saya
pikir saya juga akan selalu membesarkan impian-impian anak saya. Sama
seperti orang tua saya dulu yang tak paham akan ke mana arah ‘suka
menulis’ akan membawa saya. Paling penting buat mereka adalah
membiarkan saya terus menulis dan bermimpi bahwa nanti saat saya
dewasa akan memiliki mesin tik untuk menuliskan semua cerita yang
saya inginkan. Ternyata, bukan mesin tik yang saya miliki. Melainkan
laptop. Melebihi ekspektasi saya dulu. Maklum lahir di desa yang tak
ada listriknya, saya hanya bisa membayangkan mesin tik biasa. Itulah
yang harus kita sadari bahwa ‘Allah Maha Kaya’, itu yang selalu
Umak saya katakan. Jangan malu meminta yang sebanyak-banyaknya,
setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, sebab Allah itu memiliki
segalanya. Mengapa harus mengecilkan impian kita? Mengecilkan rezeki
kita?
Tulisan
ini muncul karena saya habis ngobrol dengan orang tua yang lain,
obrolan yang biasa sebenarnya. Entah bagaimana jadi berbicara soal
membeli tanah di kota. Karena saya sudah tahu betul harga pasaran
tanah yang ada di lingkungan saya, mau mampu beli atau tidak, saya
sudah tidak kaget dengan harganya. Satu hal yang menggelitik saya
kemudian adalah saat dia mengatakan bahwa keluarganya tidak mungkin
untuk tinggal di kota karena harga tanah yang sedemikian tingginya.
Padahal anaknya dua orang masih duduk di bangku sekolah dasar. Apakah
dia yakin anaknya nantinya tidak mampu membeli tanah dan rumah di
kota hanya karena dia sendiri tidak mampu? Jika dibandingkan dengan
kehidupan kedua orang tua saya dulunya, kehidupan mereka jauh lebih
baik. Bahkan mereka memiliki beberapa properti di desa.
Jangan
mengecilkan rezeki anak kita, kita tidak pernah tahu ke mana masa
depan akan membawa mereka. Biarkan mereka memimpikan sesuatu
sebesar-besarnya, setinggi-tingginya. Bukankah untuk bermimpi kita
tak perlu mengeluarkan uang?
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).