Empat
Waktu itu saya masih kelas empat. Saya ingat dengan jelas saya demam tinggi tak turun-turun. Bawa ke mantri langganan ternyata demam berdarah. Saya tak begitu paham. Saya hanya tahu saya harus menginap di rumah sakit. Makanan tak ada yang enak. Saya berteman infus. Uwan menemani tanpa jeda. Saya ingat betul Uwan selalu ada saat saya menginap di rumah sakit. Terakhir saat saya operasi tumor dia juga menemani. Sampai akhirnya dia sudah terlalu tua untuk berada di rumah sakit sebagai penjaga pasien.
Saya sebal dengan obat penambah darah yang warnanya merah dan baunya amis. Saya mual. Saya juga muak karema harus disuntik. Dulu suntik menyuntik masih langsung ke tubuh kita. Beda dengan jaman sekarang, pasang infus dulu baru disuntik lewat infus. Entah berapa banyak suntikan yang menancap ke tubuh saya waktu itu. Saya masih berusia 9 tahun. Kurus kerempeng. Mendapatkan banyak suntikan.
Pulang ke rumah yang saya ingat tangan saya bergetar untuk menulis. Jadi saya tidak masuk sekolah sampai 2 minggu. Empat malam di rumah sakit serasa 4 bulan. Tapi tak ada yang mengkhawatirkan soal DBD yang menyerang saya. Karena saya cepat dibawa ke rumah sakit. Ada yang terlambat dibawa ke rumah sakit hidungnya sudah mengeluarkan darah. Sewaktu saya keluar dia yang dibawa masuk ke ruang rawat inap. Dia juga kecil seperti saya.
Jika sekarang ditanya, apa yang mengingatkan saya tentang demam berdarah adalah minyak serai. Soalnya setelah saya pernah DBD saya sering dikasih minyak serai supaya tak digigit nyamuk pembawa virus demam berdarah. Sejenak saya teringat Ling-Ling. Tetangga sekaligus teman sekolah saya yang sudah lama tak bersua. Waktu saya keluar dari rumah sakit dia harus pakai minyak serai juga kalau mau main ke rumah. Kalau tidak Phophonya (nenek) tidak akan kasih izin.
Empat, kelas empat SD.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).