Memiliki orang tua yang tidak memaksakan diri untuk membeli sesuatu di luar kemampuan dengan berhutang membuat saya membesar dengan segala sesuatu yang benar-benar mampu mereka beli. Itu menjadikan saya seorang anak yang tidak merasa hidup dalam kekurangan. Saya merasa cukup. Walaupun di mata orang lain mungkin keluarga kami penuh dengan kekurangan. Selama tak berhutang, segalanya akan baik-baik saja. Menurut saya, sampai sekarang. Itu adalah ajaran hidup dari orang tua saya yang saya pegang sampai sekarang.
Jangan berhutang.
Di antara banyak hal yang saya lewati ada beberapa hal yang terkadang terlintas dalam ingatan dan menjadi kenangan tak terlupakan. Seperti pertama kalinya saya makan martabak manis ukuran besar yang sulit ditemukan di kampung saya. Saya melihatnya pertama kali di Sentebang.
Saya tidak ingat mengapa kami berada di desa itu malam-malam. Saya hanya samar-samar mengingat dibonceng oleh ibu saya menggunakan sepeda mini warna merah. Ada abah dan adik perempuan saya juga dengan sepeda ontel. Jika memang saya tidak keliru mengingatnya.
Gerobak martabak manis ukuran jumbo itu berada di simpang jalan yang sering dilewati orang. Entah siapa yang punya ide untuk membelinya. Antara saya dan adik saya yang ingin makan martabak manis. Sementara orang tua saya hanya punya Rp200 perak. Sebenarnya kalau yang dijual adalah martabak ukuran biasa atau sedang, uang tersebut cukup untuk membeli satu martabak.

Martabak manis di tempat saya disebut apam pulau pinang. Paling banyak dijual di Desa Sentebang, Jawai.
Saya yang masih kecil mendekati gerobak martabak tersebut dan bertanya harga martabaknya. Entah Rp400 atau Rp500. Saya hanya tahu uang saya tidak cukup. Saya kira tidak akan mendapatkan martabak tersebut. Ternyata saya diberikan dua potong martabak yang masih hangat oleh penjualnya.
Malam itu dingin, tapi mulut kami hangat oleh dua potong martabak isi kacang tanah.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).