Setiap pagi aku selalu melihat ada dua gelas kecil kopi yang disisihkan oleh mertuaku. Lalu diletakkan di depan sepasang buah kelapa yang sejak pertama aku menikah sudah berada di atas meja dengan alas kain kuning. Jangan tanya sudah berapa lama berada di sana karena menjadi misteri yang sampai sekarang ingin aku pecahkan. Ceritanya itu dulu kelapa yang sangat istimewa. Diberikan oleh seseorang dan menjadi benda keramat di rumah mertua.
Pagi-pagi dua kelas kopi kecil itu akan diletakkan di depan dua kelapa tersebut seakan-akan menyuguhkan sesaji. Memangnya kelapa minum kopi? Tradisi yang aku sendiri tak memahaminya dan tak berani menanyakannya pada suami atau kakak-kakak ipar yang biasanya mampir ke rumah mertua. Aku hanya menngumpulkan potongan cerita saat mertuaku punya waktu luang dan ingin bercerita. Dulu ukuran kelapa itu sangat besar dan terus mengecil akhirnya menjadi ukuran yang sekarang. Masih lumayan besar jika dibandingkan dengan kelapa normal. Anehnya kelapa itu tidak hancur padahal sudah lama sekali disimpan.
Sore hari gelas kopi tersebut akan diambil dari sisi kelapa dan dicuci lalu diganti dengan dua gelas kopi yang baru. Besoknya akan mengulang lagi hal yang sama. Begitu setiap hari. Wajar saja ibu mertua selalu titip kopi bubuk kalau aku belanja. Kopi bubuk Cap Obor, kebanggan bapakua sudah almarhum. Ada apa dengan kopi tersebut? Aku sendiri juga penasaran apa alasan kopi diberikan pada kelapa setiap hari. Bukannya itu buang-buang rezeki?
“Kelapa itu mau sampai kapan disimpan?”
Akhirnya kuberanikan diri mennayakannya pada suamiku. Dia terlihat tak begitu memperhatikan apa yang aku tanyakan. Masih sibuk main game online dari telepon pintarnya. Dia bahkan tak memandangku sama sekali yang berbaring di sebelahnya. Hanya suara kipas angin yang terdengar nyaring. Malam ini memang lebih panas dibandingkan biasanya.
“Nanti kalau ibumu sudah tidak ada kelapa itu dikubur juga?”
“Hmmm...”
Dia masih tak mendengarkan apa yang aku ucapkan. Masih sibuk dengan telepon pintarnya. Game online itu begitu menyita perhatiannya sampai dia lupa ada istirnya yang benar-benar serius mengajaknya berbicara.
“Sebaiknya segera dibuang kelapanya.”
“Hmmm?”
“Dibuang, untuk apa buah kelapa dikasih kopi coba?”
“Hmmm....”
Dengan kasar kusambar telepon pintar yang mengalihkan dunianya dariku. Aku memelototkan mataku dengan kesal. Dia juga kesal bercampur kaget karena tak menyangka aku mengambil paksa mainannya.
“Sini hapenya....”
“Kamu dengar tidak aku ngomong apa?”
“Dengar...”
Jawabannya terdengar ragu.
“Kamu tidak dengar, selalu begitu, mungkin omonganku memang tidak penting.”
Dia membisu.
“Coba ulang lagi tadi ngomong apa.”
Masih tak berkata apa-apa.
“Main saja sampai pagi!”
Kuletakkan ponselnya di atas bantal. Lalu mencoba memejamkan mataku. Ternyata memang dia tak peduli dengan pertanyaanku. Dia langsung meraih ponselnya kembali lalu melanjutkan permainannya yang tadi sempat terhenti. Kutekan rasa marahku dengan menarik napas sepanjang mungkin. Berharap dia mengerti, tapi nihil.
Pernikahan yang aku pikir akan seindah seperti yang ada di dalam drama ternyata begini kenyataannya. Berbagai hal tak terduga menggangguku. Terutama soal kelapa itu. Anehnya semua orang di rumah biasa saja menanggapi kenyataan ada yang aneh di sini. Sangat aneh.
Besok paginya aku melihat ibu mertuaku menyiapkan kopi istimewa lagi untuk dua biji kelapa di atas kain kuning itu. Menetap di kamar paling belakang di rumah dan dengan gagahnya tegak di sana. Aku terganggu dengan keberadaan dua kelapa itu. Pelan-pelan tanpa sepengetahuan siapa pun aku menyelinap ke kamar belakang dan menemukan kopi yang disajikan masih penuh. Kuambil kedua gelasnya dan langsung kuhirup sampai tandas. Gelasnya kukembalikan ke tempat semula.
Sorenya seisi rumah geger. Bagaimana tidak, dua gelas kopi yang biasanya utuh sampai sore itu tiba-tiba habis. Wajar sih karena aku yang menghabiskannya. Aku diam saja tak memberikan komentar saat semuanya heboh dengan keajaiban yang tak terduga itu.
“Memang kelapa keramat....”
“Pasti ada kekuatan di kelapa ini....”
“Kita bisa minta sesuatu nggak ya sama kelapanya?”
“Kapan kelapanya bisa ngomong?”
“Besok kopinya habis lagi nggak ya?”
“Kalau digosok keluar jin nggak ya?”
Sekarang aku merasa ada yang menarik yang bisa dilakukan. Aku akan menyelinap lagi dan menghabiskan kopi yang disiapkan untuk kelapa itu. Aku ingin tahu reaksi mereka nantinya bagaimana. Ternyata memang ada kejadian luar biasa setelah aku menghabiskan kopi tiga kali berturut-turut. Dua kepala yang tadinya hanya berada di dalam kamar belakang itu sekarang tiba-tiba di keluarkan dan disiapkan untuk mandi kembang.
Aku benar-benar tak percaya ini. Bagaimana mungkin kelapa sekarang butuh mandi kembang? Diberikan minuman kopi saja sudah sangat ajaib. Sekarang mandi-madi pula? Ingin bertanya kepada suamiku tapi urung sebab tahu nanti reaksinya seperti apa, tidak ada reaksi. Dia masih sibuk menyelesaikan permainannya.
Malam itu. Dua kelapa itu diperlakukan lebih istimewa dibandingkan biasanya. Mereka mandi kembang dan seisi rumah sibuk sekali membuat berbagai makanan buat tetangga yang juga diundang untuk menghadiri acara keramat tersebut. Aku menikmati berbagai kue yang disiapkan tapi yang membuat aku tak selera makan ya dua kelapa itu. Di tengah acara keramat mandi kembang aku berdiri sambil mengambil buah kelapa itu, keduanya dengan dua tanganku memeluknya di dada.
“Kopi itu aku yang habiskan!”
Kalimat yang aku keluarkan langsung membuat seisi rumah membisu. Tamu yang sudah terlanjur datang berbisik-bisik dengan tatapan aneh padaku.
“Apa katamu?”
Ibu mertuaku langsung berdiri dan merebut kelapa itu kembali dan meletakkannya dengan hati-hati di atas kain kuning.
“Aku yang habiskan semua kopinya! Bukan kelapanya yang minum.”
“Berani-beraninya kamu minum kopi itu!”
“Memangnya apa susahnya? Cuma minum kopi kok.”
Ibu mertuaku memegangi kedua lenganku sekarang. Memperhatikan dengan seksama kedua bola mataku.
“Sudah berapa kali kamu minum kopinya?”
Pertanyaannya terdengar sangat serius. Tatapan matanya terlampau tajam. Sampai akhir aku membuang muka. Saudara-saudara suamiku yang lain ikut serius menatap wajahku.
“Memangnya ada apa dengan kopi itu?”
“Kopi itu beracun.”
Aku menggelengkan kepalaku tak percaya. Aku sudah minum beberapa kali dan tidak terjadi apa-apa. Bagaimana mungkin kopi itu beracun?
“Itu hanya pengawet, bukan racun...”
“Seharusnya tidak ada masalah...”
“Dia kan cuma minum beberapa kali...”
“Apa perlu kita bawa dia ke sakit?”
“Matanya aneh...”
“Dia keracunan?”
“Telepon ambulance.”
Entah siapa yang mengucapkan kalimat itu tak lagi jelas di telingaku karena berikutnya aku melihat dua sosok yang berbeda. Tak pernah aku melihat mereka sebelumnya. Gaun yang mereka kenakan sedemikian indahnya. Warnanya kuning terang. Warna yang sangat biasa aku lihat. Oh kain kuning di meja yang biasa digunakan untuk kelapa itu. Warnanya benar-benar serupa.
“Mau kopi lagi?”
Mereka berdua mengulurkan gelas kecil berisi kopi yang rasanya aku kenal. Di mana aku pernah melihat gelas kecil itu sebelumnya? Mereka semakin dekat dan aku bisa mwnghirup aroma bunga dari tubuhnya. Bunga tujuh rupa yang masih segar. Di sela rambut mereka juga banyak bunga. Mereka tersenyum manis sekali.
Aku meneguk dua gelas kopi kecil itu dengan mudah dan mengikuti langkah mereka menuju kamar belakang. Di meja yang ada kain kuningnya. Sekarang ada tiga gelas kopi di sana. Kopi yang penuh sekarang berkurang setengah. Tersisa setengah. Setengah yang hilang itu menguap di udara.
Pagi-pagi dua kelas kopi kecil itu akan diletakkan di depan dua kelapa tersebut seakan-akan menyuguhkan sesaji. Memangnya kelapa minum kopi? Tradisi yang aku sendiri tak memahaminya dan tak berani menanyakannya pada suami atau kakak-kakak ipar yang biasanya mampir ke rumah mertua. Aku hanya menngumpulkan potongan cerita saat mertuaku punya waktu luang dan ingin bercerita. Dulu ukuran kelapa itu sangat besar dan terus mengecil akhirnya menjadi ukuran yang sekarang. Masih lumayan besar jika dibandingkan dengan kelapa normal. Anehnya kelapa itu tidak hancur padahal sudah lama sekali disimpan.
Sore hari gelas kopi tersebut akan diambil dari sisi kelapa dan dicuci lalu diganti dengan dua gelas kopi yang baru. Besoknya akan mengulang lagi hal yang sama. Begitu setiap hari. Wajar saja ibu mertua selalu titip kopi bubuk kalau aku belanja. Kopi bubuk Cap Obor, kebanggan bapakua sudah almarhum. Ada apa dengan kopi tersebut? Aku sendiri juga penasaran apa alasan kopi diberikan pada kelapa setiap hari. Bukannya itu buang-buang rezeki?
“Kelapa itu mau sampai kapan disimpan?”
Akhirnya kuberanikan diri mennayakannya pada suamiku. Dia terlihat tak begitu memperhatikan apa yang aku tanyakan. Masih sibuk main game online dari telepon pintarnya. Dia bahkan tak memandangku sama sekali yang berbaring di sebelahnya. Hanya suara kipas angin yang terdengar nyaring. Malam ini memang lebih panas dibandingkan biasanya.
“Nanti kalau ibumu sudah tidak ada kelapa itu dikubur juga?”
“Hmmm...”
Dia masih tak mendengarkan apa yang aku ucapkan. Masih sibuk dengan telepon pintarnya. Game online itu begitu menyita perhatiannya sampai dia lupa ada istirnya yang benar-benar serius mengajaknya berbicara.
“Sebaiknya segera dibuang kelapanya.”
“Hmmm?”
“Dibuang, untuk apa buah kelapa dikasih kopi coba?”
“Hmmm....”
Dengan kasar kusambar telepon pintar yang mengalihkan dunianya dariku. Aku memelototkan mataku dengan kesal. Dia juga kesal bercampur kaget karena tak menyangka aku mengambil paksa mainannya.
“Sini hapenya....”
“Kamu dengar tidak aku ngomong apa?”
“Dengar...”
Jawabannya terdengar ragu.
“Kamu tidak dengar, selalu begitu, mungkin omonganku memang tidak penting.”
Dia membisu.
“Coba ulang lagi tadi ngomong apa.”
Masih tak berkata apa-apa.
“Main saja sampai pagi!”
Kuletakkan ponselnya di atas bantal. Lalu mencoba memejamkan mataku. Ternyata memang dia tak peduli dengan pertanyaanku. Dia langsung meraih ponselnya kembali lalu melanjutkan permainannya yang tadi sempat terhenti. Kutekan rasa marahku dengan menarik napas sepanjang mungkin. Berharap dia mengerti, tapi nihil.
Pernikahan yang aku pikir akan seindah seperti yang ada di dalam drama ternyata begini kenyataannya. Berbagai hal tak terduga menggangguku. Terutama soal kelapa itu. Anehnya semua orang di rumah biasa saja menanggapi kenyataan ada yang aneh di sini. Sangat aneh.
Besok paginya aku melihat ibu mertuaku menyiapkan kopi istimewa lagi untuk dua biji kelapa di atas kain kuning itu. Menetap di kamar paling belakang di rumah dan dengan gagahnya tegak di sana. Aku terganggu dengan keberadaan dua kelapa itu. Pelan-pelan tanpa sepengetahuan siapa pun aku menyelinap ke kamar belakang dan menemukan kopi yang disajikan masih penuh. Kuambil kedua gelasnya dan langsung kuhirup sampai tandas. Gelasnya kukembalikan ke tempat semula.
Sorenya seisi rumah geger. Bagaimana tidak, dua gelas kopi yang biasanya utuh sampai sore itu tiba-tiba habis. Wajar sih karena aku yang menghabiskannya. Aku diam saja tak memberikan komentar saat semuanya heboh dengan keajaiban yang tak terduga itu.
“Memang kelapa keramat....”
“Pasti ada kekuatan di kelapa ini....”
“Kita bisa minta sesuatu nggak ya sama kelapanya?”
“Kapan kelapanya bisa ngomong?”
“Besok kopinya habis lagi nggak ya?”
“Kalau digosok keluar jin nggak ya?”
Sekarang aku merasa ada yang menarik yang bisa dilakukan. Aku akan menyelinap lagi dan menghabiskan kopi yang disiapkan untuk kelapa itu. Aku ingin tahu reaksi mereka nantinya bagaimana. Ternyata memang ada kejadian luar biasa setelah aku menghabiskan kopi tiga kali berturut-turut. Dua kepala yang tadinya hanya berada di dalam kamar belakang itu sekarang tiba-tiba di keluarkan dan disiapkan untuk mandi kembang.
Aku benar-benar tak percaya ini. Bagaimana mungkin kelapa sekarang butuh mandi kembang? Diberikan minuman kopi saja sudah sangat ajaib. Sekarang mandi-madi pula? Ingin bertanya kepada suamiku tapi urung sebab tahu nanti reaksinya seperti apa, tidak ada reaksi. Dia masih sibuk menyelesaikan permainannya.
Malam itu. Dua kelapa itu diperlakukan lebih istimewa dibandingkan biasanya. Mereka mandi kembang dan seisi rumah sibuk sekali membuat berbagai makanan buat tetangga yang juga diundang untuk menghadiri acara keramat tersebut. Aku menikmati berbagai kue yang disiapkan tapi yang membuat aku tak selera makan ya dua kelapa itu. Di tengah acara keramat mandi kembang aku berdiri sambil mengambil buah kelapa itu, keduanya dengan dua tanganku memeluknya di dada.
“Kopi itu aku yang habiskan!”
Kalimat yang aku keluarkan langsung membuat seisi rumah membisu. Tamu yang sudah terlanjur datang berbisik-bisik dengan tatapan aneh padaku.
“Apa katamu?”
Ibu mertuaku langsung berdiri dan merebut kelapa itu kembali dan meletakkannya dengan hati-hati di atas kain kuning.
“Aku yang habiskan semua kopinya! Bukan kelapanya yang minum.”
“Berani-beraninya kamu minum kopi itu!”
“Memangnya apa susahnya? Cuma minum kopi kok.”
Ibu mertuaku memegangi kedua lenganku sekarang. Memperhatikan dengan seksama kedua bola mataku.
“Sudah berapa kali kamu minum kopinya?”
Pertanyaannya terdengar sangat serius. Tatapan matanya terlampau tajam. Sampai akhir aku membuang muka. Saudara-saudara suamiku yang lain ikut serius menatap wajahku.
“Memangnya ada apa dengan kopi itu?”
“Kopi itu beracun.”
Aku menggelengkan kepalaku tak percaya. Aku sudah minum beberapa kali dan tidak terjadi apa-apa. Bagaimana mungkin kopi itu beracun?
“Itu hanya pengawet, bukan racun...”
“Seharusnya tidak ada masalah...”
“Dia kan cuma minum beberapa kali...”
“Apa perlu kita bawa dia ke sakit?”
“Matanya aneh...”
“Dia keracunan?”
“Telepon ambulance.”
Entah siapa yang mengucapkan kalimat itu tak lagi jelas di telingaku karena berikutnya aku melihat dua sosok yang berbeda. Tak pernah aku melihat mereka sebelumnya. Gaun yang mereka kenakan sedemikian indahnya. Warnanya kuning terang. Warna yang sangat biasa aku lihat. Oh kain kuning di meja yang biasa digunakan untuk kelapa itu. Warnanya benar-benar serupa.
“Mau kopi lagi?”
Mereka berdua mengulurkan gelas kecil berisi kopi yang rasanya aku kenal. Di mana aku pernah melihat gelas kecil itu sebelumnya? Mereka semakin dekat dan aku bisa mwnghirup aroma bunga dari tubuhnya. Bunga tujuh rupa yang masih segar. Di sela rambut mereka juga banyak bunga. Mereka tersenyum manis sekali.
Aku meneguk dua gelas kopi kecil itu dengan mudah dan mengikuti langkah mereka menuju kamar belakang. Di meja yang ada kain kuningnya. Sekarang ada tiga gelas kopi di sana. Kopi yang penuh sekarang berkurang setengah. Tersisa setengah. Setengah yang hilang itu menguap di udara.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).