Semuanya
dimulai ketika saya baru lahir. Setidaknya itu yang saya tahu menjadi
pemicu semua yang terjadi di dalam keluarga saya. Saya tidak
menyesali menjadi diri saya yang sekarang. Harus mengalami sedemikian
banyak hal yang menyakitkan. Sebab yang saya yakini adalah tak ada
hidup yang sempurna. Tak ada orang yang bahagia jika tidak mensyukuri
apa yang dia punya dan apa yang tak ada pada dirinya. Begitupun saya.
Namun saya ingin berbagi kisah ini dengan cerita yang cukup panjang
lebar. Untuk menemukan orang yang sama penderitaannya dengan saya.
Menunjukkan pada mereka yang mungkin sampai sekarang bingung dengan
apa yang terjadi di dalam hubungan keluarganya dan tak tahu harus
bicara dengan siapa, saya juga ada di sini dan hanya bisa bicara
banyak dengan blog saya.
Apa
yang selama ini harus saya hadapi, sampai usia saya sekarang, masih
terus berlangsung, cuma tidak seintens yang dulu karena saya sudah
menikah, punya anak, dan keluarga sendiri. Sayangnya saya masih
terlampau sering mengalami mimpi buruk. Terlalu buruk dan hampir
setiap malam, saya bisa memimpikan orang yang sama berulang-ulang.
Tidur menjadi sesuatu yang rasanya agak menakutkan untuk dinikmati.
Tiga
puluh tahun lalu. Saya lahir dan hadir dalam kehidupannya. Dia yang
seharusnya tak memiliki adik (ini pemikiran dia) dan tiba-tiba
mendapatkan adik perempuan. Di awal tahun-tahun kami bersama dia tak
pernah mau mengakui saya sebagai adik. Setiap orang menanyakan soal
saya dia selalu menyatakan bahwa saya adalah anak pungut, adik
angkat, anak suka A (suku yang tidak diterima lagi di daerah saya).
Saya terlalu kecil untuk memahami penolakan yang dia berikan. Orang
tua saya juga sangat awam untuk memahami bahwa ada bahaya besar yang
menanti di dalam keluarga kami.
Sebagai
adik saya sangat banyak mengalah. Mengalah pada banyak hal. Mengalah
pada keadaan. Mengalah pada keegoisan kakak sulung saya. Menerima
semua tamparan, jambakan, dan goresan pisau dari tangannya. Saya
rasa, saya telah menyembuhkan luka fisik saya, tetapi luka di dalam
jiwa saya masih menganga. Luka yang sampai sekarang tak pernah bisa
saya sembuhnya. Sekuat apa pun saya mencoba. Sedalam apa pun saya
menenggelamkan diri pada berbagai hal yang ada.
Saya
masih terluka. Sakit. Berkubang dalam darah saya sendiri. Dia sendiri
tak pernah kehabisan cara untuk melukai saya dan adik-adiknya yang
lain. Tapi dari semua orang yang dia lukai, memang selalu saya yang
menjadi sasaran yang paling dia incar.
Padahal
setiap kali saya melihat foto masa kecil kami, saya tak melihat ada
kebencian di sana. Saya rindu melihat senyumannya semasa dulu. Di
saat dia menjadi cucu yang paling cantik dan pintar di keluarga kami.
Saya rindu dia yang bangga dengan dirinya sendiri. Dirinya yang
selalu menjadi teladan di sekolahnya karena selalu ranking. Saya
rindu dengannya yang percaya diri di depan teman-temannya menyanyikan
banyak lagu anak-anak.
Dia
berbeda dan kami tidak menghadapi perbedaan itu sejak pertama. Saya,
orang tua saya, kakek nenek saya, membiarkan perbedaan itu dan
menuruti semua kemauannya. Itu yang membuat semuanya menjadi sangat
buruk sekarang. Seburuk apa? Nanti saya cerita lagi.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).