Sebentar
lagi usia Raza setahun. Tak terasa laki-laki kecil itu melewati tahun
pertamanya dengan sangat baik. Alhamdulillah dia sangat sehat.
Perkembangannya juga normal. Saya beruntung menjadi ibunya. Setiap
pagi dialah yang akan membangunkan saya. Setiap kali saya patah
semangat, saya melihat masa depan di matanya. Senyumannya menguatkan
saya. Mau segimana pun banyaknya masalah dalam hidup ini rasanya
nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang saya punya
sekarang. Harta saya. Raza.
The
best thing I ever had.
Dulu saya hanya bisa menulis surat untuknya. Tanpa pernah tahu dia
bakalan kayak siapa. Sekarang saya sudha menggendongnya setiap hari.
Tidur di sampingnya. Melihatnya tertawa. Padahal tahun lalu saya
masih berada di rumah sakit menunggu jam-jam menuju kelahiran. Hari
yang rasanya sangat panjang. Waktu itu saya hanya bisa bilang sama
diri saya bahwa hari ini akan berakhir, hari ini akan berakhir.
Begitu berulang-ulang sampai saya bisa meredakan sakit di perut saya.
Sakitnya
kontraksi itu hilang datang sih sebenarnya. Kadang sakit terus
menghilang. Lalu sakit lagi. Sampai akhirnya saya tertidur ketika
sudah pembukaan 5. Malam hari sih jam 9 lewat gitu. Dokter memeriksa
calon ibu yang berada di ruangan bersalin termasuk saya. Ternyata
pembukaan saya berhenti dan saya dikasih pilihan buat induksi atau
operasi. Gemetar sekali saya mendengar kata operasi.
Saya
memang sudah pernah menjalani operasi sebelumnya tapi bukan membelah
perut. Hanya bagian payudara dulu yang sempat di operasi. Tidak
mengerikan seperti membayangkan operasi untuk melahirkan. Saya pilih
induksi akhirnya. Dibandingkan harus operasi. Saya masih ingin
mengeluarkan anak saya lewat jalur yang seharusnya. Melalui pintu
bukan jendela. Kecuali memang sudah tidak memungkinkan lagi dan
bahaya buat bayinya ya mau nggak mau saya berada di meja operasi.
Apalagi
Raza sudah lewat banget dari prakiraan dokter masa kelahirannya. Dari
semua versi tak ada yang benar. Semua dokter salah memperkirakannya
begitu juga bidan. Waktu diberi obat untuk merangsang bayinya supaya
keluar, saya tidak merasakan kesakitan yang berlebihan. Sakitnya
awalnya pelan lalu makin kuat dan makin kuat. Nggak kayak kontraksi
normal yang sebelumnya. Sudah tak mampu rasanya menahannya. Saya
sampai bolak-balik dan tak mampu menahan bibir saya untuk mengeluh
dan mengaduh. Duduk baring, duduk baring. Begitu semalaman sampai
pagi.
Suami
saya pasti lelah. Saya juga lelah sekali. Padahal saya masih butuh
tenaga untuk mengeluarkan Raza. Tapi saya sudah terlalu kesakitan.
Saya ingin menyerah. Sudah cukup. Operasi saja! Operasi saja! Operasi
saja! Itu yang paling saya ingat pagi Selasa, hari itu. Saya sudah
nggak kuat dengan kontraksi dari obat perangsang. Sudah terlalu
menyakitkan.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).