Sudah setahun. Berperan sebagai seorang istri. Sebentar lagi akan disebut sebagai seorang ibu dari anak pertama. Bahagia? Setiap orang punya parameter sendiri untuk bahagia. Kalau parameternya hidup orang lain, kita tak akan pernah merasa cukup dan bahagia. Sebab rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput di halaman kita.
Rumah. Di mana pun suami berada kita sebagai istri tentunya bisa menyebutnya rumah. Sebab rumah itu sekarang parameternya rasa. Tak peduli di mana pun kita berada, paling penting berada di sisi suami, itulah rumah yang paling hangat di dunia ini.
Tapi rumah mertua sekarang memang rumah yang paling hangat di Pontianak. Dibandingkan banyak rumah lainnya. Latar belakang keluarga kami sangat berbeda. Di sini saudara-saudara suami sangat kompak, saling membantu, saling memperhatikan. Beda sekali dengan saudara saya sendiri. Saudara pertama yang kondisi kejiwaannya memang menakutkan sejak saya lahir. Adik yang paling besar sibuk mengejar mimpinya. Dua adik lainnya masih terlampau kecil untuk diajak berdiskusi mengenai alam kedewasaan.
Memang di keluarga pihak Umak, kami tak terbiasa seperti keluarga di pihak suami. Saya merasa hangat di antara mereka. Menjadi bagian semua keriuh-rendahan suara 5 kakak ipar perempuan dan anak-anak mereka. Belum lagi bagian yang paling saya suka. Ibu mertua saya ada di sana. Usianya lebih mendekati Uwan (nenek) dibandingkan Umak, tipikal perempuan klasik yang pemikirannya sederhana. Tak muluk-muluk walaupun kadang kami tak sepaham mengenai pilihan paling tepat di masa depan.
Dia ingin saya jadi PNS sama seperti Uwan, tidak Umak dan saya sendiri tentunya. Saya bukan orang yang suka terikat rutinitas harian yang begitu-begitu saja. Lebih suka berada di rumah dan menghabiskan waktu untuk berbisnis dan menulis. Untungnya dua orang paling penting dalam hidup saya itu tak memaksa saya untuk jadi PNS. Hanya sempat memberikan saran yang diulang-ulang.
Perempuan-perempuan hebat itulah home sweet home saya. Di rumah Uwan waktu kecil saya dibesarkan. Sempat tinggal sebentar bersama Umak. Hingga akhirnya belasan tahun sendirian. Sekarang bersama suami mengarungi bahtera kehidupan yang kadang dihempas gelombang dan badai. Perjalanan semoga masih panjang. Barangkali tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun bisa menguatkan kaki yang akan terus melangkah.