Aku
menatap wajahnya yang membeku. Tak tahu apalagi yang harus kulakukan
selain mengaduk kopi hitam yang belum kuhirup sejak tadi. Tangannya
yang besar terlihat mengepal. Dia marah. Itu pasti. Aku juga marah.
Kedewasaan yang menahan kami berdua untuk mengeluarkannya di sini,
sekarang ini. Dari sini aku bisa melihat orang yang berlalu-lalang
karena cafe ini terdiri dari kaca bening yang besar. Hanya ada
tiang-tiang kecil yang tak begitu mengganggu pemandangan.
“Kamu
yakin?”
Suaranya
yang juga besar memaksaku untuk menarik napas yang sangat panjang
untuk menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.
“Setelah
lima tahun, hanya begini akhirnya?”
“Seharusnya
aku yang bicara begitu.”
“Siapa
dia?”
“Seseorang
yang mau menikah denganku.”
“Jadi?”
“Ya
aku akan menjadi istrinya.”
“Bagaimana
denganku?”
“Lima
tahun aku ragu dengan posisiku dalam hidupmu.”
“Menikahlah
denganku.”
“Maaf.”
“Batalkan
pernikahanmu dengannya.”
“Tak
bisa.”
Kuletakkan
selembar kertas berwarna emas bersampul plastik padanya. Tertulis
namanya di sana. Dia kembali membeku.
“Lima
tahun aku memintamu untuk menjadi suamiku. Sekarang waktumu sudah
habis.”
“Bukankah
kamu mencintaiku?”
“Kadang
cinta saja tidak cukup untuk modal pernikahan.”
Aku
berdiri dan menyambar tasku. Meninggalkan kopiku yang belum kuhirup
dan laki-laki yang selama ini kutunggu lamarannya sampai 5 tahun
lamanya.