Ada
beberapa hal di dunia ini yang saya inginkan dan tak ada tawar
menawar untuk mengatakan tidak. Saya harus menerima kata 'ya'. Ini
yang memang kadang menyebalkan. Minta izin mengenai sesuatu tapi
jawabannya harus 'iya'. Walaupun sebenarnya saya bukanlah orang yang
pembangkang. Cuma suka memaksa jika saya pikir hal yang saya inginkan
tersebut bisa dicapai atau dilakukan tentu saja hal yang baik.
Seperti saat saya mengatakan saya akan melanjutkan kuliah ke Akademi
Bahasa Asing.
Tapi
tak selamanya kaya 'iya' akan keluar begitu saja dari bibirnya.
Banyak hal yang belum kami pahami antara diri masing-masing. Ada hal
yang kadang berbeda dari yang kami pikirkan. Dua orang dengan dua
kepala tentu saja memiliki perspektif yang tak sama. Punya jalan
pikirannya masing-masing dan kadang ada jalan pikiran lama yang masih
kita pegang hingga sekarang.
Impian
kuliah di ABA adalah hal yang sudah lama saya simpan. Impian yang
sejak SMA saya idam-idamkan. Karena saya suka mempelajari Bahasa
Inggris. Walaupun sebenarnya harus saya akui bahasa Inggris saya
masih kacau. Tes masuk universitas negeri dulunya pun saya malah
lolos ke Bahasa Indonesia yang notabenenya adalah pilihan kedua. Tak
mengapa. Itu artinya saya harus belajar Bahasa Indonesia lebih banyak
lagi. Pikir saya demikian dan masuk ABA saya endapkan dulu.
Maunya
sih langsung masuk ABA dulunya. Tapi karena mahal biayanya dan ibu
saya bukanlah pengusaha. Hanya seorang guru, PNS di sebuah sekolah
dasar, uang gajinya hanya cukup buat menghidupi keluarga dan mengirim
uang bulanan beberapa ratus ribu untuk saya. Sisanya kalau kurang?
Cari sendiri. Jangankan mau kuliah di ABA waktu itu. Masuk
Universitas Tanjungpura pun saya harus sangat berhemat dan pintar
mencari sampingan.
Mengetik
tugas teman dengan mesin ketik Pak RT dengan biaya Rp1.500/lembar
adalah usaha yang saya jalani hampir satu tahun. Kemudian saya mulai
belajar mengetik menggunakan komputer hingga akhirnya saya memiliki
sebuah laptop + printer dan warung kos di kamar. Cukup untuk
melanjutkan hidup sehari-hari.
Sekarang
saya sudah punya penghasilan sendiri. Suami juga menafkahi saya. Ini
adalah waktu yang paling tepat untuk mewujudkan impian saya kuliah di
ABA. Hancur hati saat melihat tatapan penolakan dari suami. Namun
kemudian beberapa jam berlalu dia akhirnya mengiyakan dengan tatapan
menerima keinginan istrinya. Alhamdulillah. Tak ada yang lebih
menyenangkan mendengar dia mengatakan 'iya'.