Kita
belum menemukan jalan penyelesaian. Kamu malah mengangkat tangan
untuk memesan minuman yang sama untukmu dan untukku. Aku diam saja
menunggu apa perkataanmu selanjutnya. Meja yang dibaluti taplak putih
susu ini membuat pancaraan matahari memantul ke wajahmu. Bercahaya.
Wajah yang membuatku jatuh cinta lima tahun yang lalu.
Dari
balik kaca cafe ini kita bisa melihat orang yang berjalan kaki lalu
lalang. Semua orang bisa bebas bepergian di tengah cuaca yang cerah
begini. Lalu kita malah duduk di sini membeku sambil minum kopi
panas. Dua gelas kopi datang ke meja kita. Satu diletakkan di
depanmu. Satu di depanku. Kita mengaduk gulanya sebentar.
Aku
memincingkan mataku yang silau karena cahaya matahari yang tiba-tiba
memantul dari kaca kendaraan yang lewat. Di cafe ini kita pernah
mengikrarkan janji setia untuk menikah suatu hari nanti. Mengapa aku
tak menanyakan padamu tentang batas waktu yang akan kita ambil.
“Kamu
mencintaiku kan?”
“Iya
Nick. Aku selalu mencintaimu. Sama seperti lima tahun yang lalu.”
“Mengapa
baru sekarang kamu mendesakku?”
“Mungkin
aku lupa kita seharusnya menikah. Aku terlalu hanyut dalam indahnya
hubungan kita. Lalu tiba-tiba lima tahun berlalu begitu saja.”
“Lima
tahun...”
Kamu
mendesah menyebut jangka waktu yang sudah kita lewati bersama.
“Kalau
aku tak bisa menikah denganmu minggu depan bagaimana?”
“Aku
akan pergi dari hidupmu Nick.”
“Pergi?”
“Iya,
pergi. Aku akan memaafkanmu lalu melupakanmu.”
“Kamu
memaafkanku?”
“Tentu
saja Nick. Aku menyayangimu dan akan selalu menyayangimu walaupun
akhrnya kita tidak akan menikah. Kita harus mencari cinta yang lain
dan jatuh cinta lagi.”
“Kamu
akan melupakanku?”
Aku
menganggukkan kepalaku.