Aku
mengaduk-ngaduk kopiku yang tinggal seperempat. Tak tahu harus
melakukan apa. Tepatnya aku tak tega meninggalkanmu. Tapi juga tak
bisa terus menunggu. Desakan orang tuaku. Mereka ingin aku segera
menikah. Tak peduli denganmu atau dengan siapa saja. Mereka sudah
tua. Apalagi yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan mereka
selama ini.
“Aku
punya orang tua, Nick. Mereka tak memberikan waktu lagi untukku.”
“Aku
juga punya, sayang. Come on, mungkin kamu bisa
memberikan waktu setidaknya 6 bulan.”
Enam
bulan? Vonis dokter mengenai penyakit ayahku kurang dari enam bulan.
Walaupun aku tahu itu hanya prakiraan. Dokter tak punya hak untuk
menentukan hidup mati seseorang. Terbayang lagi di kepalaku bagaimana
histerisnya ibuku mendengar suaminya ditetapkan kematiannya seperti
itu. Bahkan tangan ibuku sempat mampir ke pipi sang dokter yang tetap
tenang menghadapi kami.
“Aku
anak tunggal, Nick. Berbeda denganmu. Saudara-saudaramu bisa
mengotakkan keinginan orang tuamu untuk melihat anaknya menikah.
Sedangkan aku? Aku tak bisa.”
“Kalaupun
kamu ingin cepat jangan sekarang, jangan minggu ini.”
“Aku
hanya minta kita menikah di KUA, maharnya satu dua gram saja sudah
cukup. Walinya ayahku. Pamanku bisa jadi saksi. Begitu juga pamanmu
atau saudaramu yang lain.”
Kamu
terdiam. Beku. Tatapanmu membuatku ikut beku. Aku tahu kamu marah.
Bukan padaku. Pada keadaan yang akhirnya menyudutkan kita berdua pada
situasi yang tak pernah kita inginkan.
“Minggu
ini ya?”
“Iya,
minggu ini.” Penegasanku membuatmu menggigit bibir. Kebiasaan yang
selalu kamu lakukan jika kamu sedang bingung.
Aku
berharap kamu mengiyakan.