Kita
duduk berhadapan. Saling menatap gelas kopi yang sudah satu jam yang
lalu kita pesan. Kopimu masih hitam. Berbeda dengan kopi pilihanku
yang sekarang sudah berubah menjadi putih. Dalam diam kita sama-sama
menarik napas panjang. Orang yang hilir-mudik, keluar masuk tempat
minum yang menjadi saksi keresahan hati kita berdua.
“Kamu
cinta aku kan?” kamu mengulang pertanyaan yang entah sudah berapa
kali aku jawab dengan anggukan.
“Iya,
aku mencintaimu. Sangat malahan.” Akhirnya aku menjawabnya dengan
tegas dan mata yang berkaca-kaca.
Lalu
kita membisu lagi. Aku mengambil gelas di depanku perlahan. Berharap
dengan menyesap kopi putih ini aku tak lagi resah. Gulana. Kamu ikut
mengambil gelas kopi hitammu. Meneguknya hingga tandas. Barangkali
memang kamu lebih haus dengan keadaan ini dibandingkan aku.
“Tak
bisakah kamu menunggu?”
Pertanyaan
yang sama lagi. Rasanya aku sudah cukup letih memberikan tenggat
waktu padamu. Kamu meminta perpanjangan lagi untuk menikahiku. Kita
sudah bersama lebih dari lima tahun. Apalagi yang tak kamu yakini
tentangku?
“Untuk
apa, Nick?”
“Persiapannya
butuh waktu, sayang.”
Ah
kata sayang itu terdengar tak lagi mesra di telingaku. Sudah lama
sekali aku tak mendengar kamu menyebutku dengan kata 'sayang'.
Terlalu lama berpacaran mengubah cara memanggilmu padaku. Tak ada
lagi kata 'sayang' atau 'cinta'. Kamu memanggilku seperti kebanyakan
orang. Kali ini ada yang berbeda. Apa karena kamu takut kehilanganku?
“Berapa
lama lagi?”
“Aku
tak bisa memberikan janji tapi tolong berikan aku waktu lagi.”
Aku
menggenggam tanganku di atas meja. Tanganmu begitu jauh di seberang
sana. Menjadi tumpuan kepalamu. Tepat di dagu yang ditumbuhi
bulu-bulu halus. Jenggot tipis yang membuat terlihat menarik di mata
banyak wanita.
“Aku
menunggu lima tahun, Nick.”
“Berikan
aku sedikit waktu saja lagi. Berapa pun yang kamu sebut aku akan
berusaha.”
Aku
tersenyum penuh luka. Tak tega melihatmu. Tapi juga letih menunggu.