Barangkali
teman-teman banyak yang berharap tulisannya mendapat komentar dan
dibaca banyak orang. Lebih menyenangkan lagi komentarnya berupa
pujian yang manis. Tenang teman-teman tak sendirian. Saya juga pernah
seperti itu. Berharap ada yang memberikan dorongan dalam bentuk
komentar terhadap semua tulisan yang saya publikasikan di blog ini.
Tetapi tentu saja tak semua komentar akan membuat kita nyaman. Ada
komentar yang membuat kita down. Merasa tak semangat. Bahkan
memutuskan untuk berhenti menulis. Takut menghadapi komentar
berikutnya.
Tapi
lama-kelamaan akan ada satu titik di mana kamu tak peduli dengan
komentar apa pun. Mau komentarnya baik atau buruk. Mau memuji atau
menghina akan ada satu bagian dari dirimu yang perlahan-lahan menutup
telinga terhadap semua itu. Sebab melelahkan. Menerima pujian juga
menakutkan. Takut kita terlalu senang dan lupa untuk terus berlatih
dan meningkatkan kemampuan menulis kita. Kalau menerima komentar
takutnya kita jadi ciut dengan dunia tulis-menulis.
Ketika
kita berada pada fase kita tak peduli lagi dan lebih memilih untuk
terus menulis tanpa henti saat itulah kita menemukan diri kita yang
sebenarnya. Bagian dari diri kita yang tak butuh dorongan atau
kecaman dari siapa pun. Sebab menulis itu adalah keinginan kita. Kita
ingin melakukannya. Mau dibilang bagus atau jelek biarkan saja.
Setiap orang punya pendapat pribadi mengenai sebuah karya.
Masih
ingat dengan cerita seorang ayah dan anak yang ingin menuju sebuah
tempat tapi hanya punya keledai? Saat sang ayah yang naik dan anaknya
yang menuntun keledai orang yang melihat mereka lewat berkomentar.
“Ayahnya
tak tahu diri ya? Anaknya dibiarkan berjalan kaki dan dia enak-enakan
naik keledai.”
Mendengar
hal tersebut sang ayah turun dan menaikkan anaknya ke keledai. Tak
berapa lama ada lagi yang melihatnya dan berkomentar.
“Anaknya
durhaka sekali ya? Ayahnya dibiarkan berjalan kaki dan dia di atas
keledai.”
Dua
orang ini tentu saja bingung sebentar lalu memutuskan untuk naik ke
atas punggung keledai dan merasa apa yang mereka lakukan sudah benar.
Tapi ternyata masih ada yang komentar.
“Kejam
sekali ya mereka itu, sudah keledainya kecil malah dinaiki berdua.”
Mendengar
hal tersebut, dua orang ini turun dan berjalan kaki bersama
keledainya. Masih ada saja orang yang berkomentar.
“Bodoh
sekali mereka, punya keledai tapi jalan kaki.”
See,
apa pun yang kita lakukan, dalam hal ini menulis, tetap ada orang
yang menganggapnya salah. Apakah kita ingin seperti itu? Terlalu
sibuk mendengarkan komentar orang dan pada akhirnya bingung apa yang
harus dilakukan?
Suatu
hari akan ada saatnya kita merasa tulisan kita sudah 'pas'. Bukan
sempurna. Bukan 'waw'. Hanya 'pas'. Lalu komentar apa pun tak
memberikan pengaruh bagi kita.