Rita
berdiri di luar toko. Celemeknya belum dia kenakan. Wajahnya keruh.
Aku yang sedang menangis menghapus air mataku. Berusaha
menyembunyikan air mataku sendiri. Dia yang tadinya menatapku dingin
sekarang menarik tanganku dan memelukku erat.
“Kamu
kenapa, Sofia?”
“Sisca...”
hanya nama itu yang bisa aku sebut tanpa bisa aku jelaskan lebih
banyak pada Rita.
“Ya
sudah kita hari ini libur saja. Kita habiskan waktu di luar buat
bersenang-senang.”
Aku
mengaduk es jeruk yang berdiri di depanku. Tinggal setengah dan es
batu di dalamnya sudah mulai mencair. Agak tawar sekarang rasanya.
Sedang gelas minum Rita sudah habis sejak tadi.
“Dia
mengatakan padaku dia menyukai orang lain.”
“Orang
lain?”
Aku
berusaha menunjukkan wajah terkejut walaupun sebenarnya aku sudah
menebak hari ini akan benar-benar datang. Saat Rita akan mengetahui
semuanya sedang aku belum siap untuk menjelaskannya.
“Kamu
tak ingin mengatakannya dengan jujur padaku, Sofi?”
Rita
membuat segalanya jadi serba salah. Dia menunjukkan wajahnya yang
manis itu dan menanyakan pertanyaan yang tak pernah aku sangka akan
datang secepat ini.
“Iya,
dia memang mengatakan tentang perasaannya padaku. Dia bilang dia
mencintaiku.”
Aku
mengakuinya dengan rasa bersalah. Harusnya aku memang mengatakannya
sejak awal. Sebelum Rita menyatakan perasaannya pada laki-laki itu.
“Selama
ini kita selalu membagi semuanya berdua. Tak pernah ada rahasia di
antara kita Sofia. Sekarang aku bingung apakah aku harus tetap
percaya padamu atau lebih baik kita tak usah bertemu lagi?”
“Persahabatan
kita adalah segalanya buatku Rita, makanya aku tak mengatakannya
padamu. Toh aku tak berniat mengambil Renno darimu.”
“Dia
bukan milikku, Sofia. Siapa pun boleh mencintainya.”
Rita
bangkit setelah meninggalkan beberapa lembar uang di meja. Aku juga
tertinggal di sini. Bingung harus ke mana.