
Nyugi
adalah satu dari banyak kegiatan yang dilakukan oleh nenek-nenek di
kampung saya. Tak semua nenek-nenek terbiasa nyugi. Barangkali nyugi
itu berasal dari kata 'nyuci gigi'. Karena memang kegiatan ini
tujuannya untuk membersihkan gigi. Nyugi ini adalah kegiatan
menggumpalkan tembakau sehingga membulat lalu menggosokkannya ke
seluruh gigi yang ada di dalam mulut. Ada perempuan yang tak mau
merokok tapi sudah ketagihan dengan tembakau akan memilih untuk
menyugi saja. Manfaatnya? Jangan tanyakan pada saya karena nenek saya
sendiri tidak nyugi.
Kalau
sudah nyugi dapat dipastikan juga perempuan ini nyirih. Alias makan
sirih. Makan sirih ini supaya lebih nikmat, ini hanya tebakan saya,
tidak tahu apakah benar-benar nikmat atau hanya kebiasaan yang sulit
ditinggalkan, ditambahkan pula kapur, pinang, dan gambir. Kalau sudah
tak punya gigi, nenek-nenek yang suka nyirih akan membawa sebuah
bambu yang bisa dimasukkan dalam dompet sirihnya. Bambu ini
dipasangkan dengan besi yang ujungnya tajam dan pipih. Mirip dengan
alat untuk membuat lubang pada kayu. Alat pahat.
Bambu
ini digunakan sebagai tempat untuk memotong-motong sirih yang sudah
disatukan dengan 'bumbu'-nya. Gambir, kapur, dan biji pinang.
Kemudian pahat sirih ini akan keluar masuk batang bambu kecil yang
sudah terisi oleh daun sirih. Setelah halus bagian bawah bambu bisa
didorong ke atas untuk mengeluarkan sirih yang sudah halus tadi. Siap
untuk dinikmati. Tapi saya sendiri tidak pernah makan sirih selengkap
itu. Kalau hanya mengunyah daun sirih segar dan membuangnya karena
pedas itu sering saya lakukan waktu sekolah dasar.
Di
dinding samping kiri rumah nenek yang tidak menempel dengan rumah
orang lain memang banyak ditumbuhi daun sirih. Sehingga saya dengan
mudah mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mulut. Hahahaha...