Dulunya
saya masih ingat sekali saat saya masih berusia belasan tahun, adik
saya yang bernama Syafaat lahir. Tubuhnya bulat dan wajahnya lucu
sekali. Waktu itu saya sering sekali membawanya ke Pasar Matang Suri
untuk menikmati semangkuk bubur. Tak terkira senangnya saya melihat
dia menelan habis semangkuk bubur setiap paginya. Setiap pagi memang
saya berkewajiban untuk menjaganya hingga siangnya saya berangkat
kerja.
Bubur
yang saya kenal sejak kecil jauh sekali berbeda dengan bubur yang
sekarang selalu saya temukan di warung-warung yang ada di Pontianak.
Semua bubur di sini ada kuahnya. Entah itu kuah kaldu ayam atau
daging sapi. Pokoknya ada kuahnya. Kalau di Jawai, bubur tidak ada
kuahnya. Bubur putih polos ditaburi pusok kacang
dan bawang goreng. Kalau beruntung bisa kebagian daun sop dan daun
bawang.
Saya
suka sekali bubur tanpa kuah seperti itu. Karena memang di Jawai
kebanyakan orang membuat bubur dengan cara demikian. Berbeda sekali
dengan yang ada di Pontianak. Semua bubur ada kuahnya. Bagaimana
dengan di tempatmu?