Kisah pertama. Kisah kedua. Kisah ketiga. Kisah keempat. Kisah kelima. Kisah keenam.
Kisah ketujuh. Kisah kedelapan. Kisah kesembilan. Kisah kesepuluh. Kisahkesebelas. Kisah kedua belas. Kisah ketiga belas.
Dia
bilang dia mau gelang. Permintaan yang aneh. Dia mengiyakan ajakanku untuk
melanjutkan masa depan bersama-sama dan hanya meminta sebuah gelang. Setelah aku
tak bisa memberikan sebuah cincin yang dia inginkan. Bagaimana mungkin aku
membelikan sebuah cincin emas sedangkan jemarinya sangat kecil. Aku masih bisa
merasakan sentuhan tangannya saat pertama kali aku bersalaman dengannya. Tangannya
terlalu kecil untuk ukuran seorang perempuan dewasa dan jemarinya itu. Aduh membuatku
gemas dan ingin mengecupnya. Jemarinya seperti jari anak-anak. Aku yakin tak
akan mudah menemukan cincin yang cocok dengan jari manisnya. Jari yang akan
mengikatnya menjadi pendamping hidupku selamanya.
Aku
ingin dia untuk selamanya. Selama umur masih mempersatukan kami berdua. Memiliki
banyak anak yang lucu dan manis seperti dia. Dia yang telah membuat bara api
cinta di hatiku menyala dalam sekejap. Katakanlah ini cinta pada pandangan
pertama. Aku memang mengalaminya dan dia telah mencuri segenap hati yang aku
punya. Untuk pertama kalinya aku tergila-gila seperti ini dan kehilangan akal
sehatku. Seakan-akan dia telah membacakan mantra untuk membuatku mencintainya
dalam waktu sekejap. Berikan aku satu kehidupan dan akan aku cintai dia untuk
selamanya.
Dia
memilih gelang di sebuah toko oleh-oleh Khas Kalimantan Barat yang ada di Jalan
Pattimura. Sebuah gelang yang sangat murah. Tak akan kuberitahukan harganya
padamu. Karena cukuplah aku dan dia saja termasuk pedagangnya yang tahu. Terlalu
murah untuk melamar seorang perempuan. Perempuan seperti dia. Dia berbeda. Gabungan
dari banyak perempuan yang pernah hadir dalam kehidupanku. Bahkan dengan
beberapa tambahan di banyak sisi. Apalagi satu hal yang sangat penting. Dia mengiyakan
lamaranku begitu saja. Seperti seseorang yang membalas ucapan terima kasih
dengan sebuah ‘sama-sama’. Semudah itu. Seperti sambil lalu. Membuatku bertanya-tanya.
Apakah perempuan ini serius dengan ucapannya? Sebelum aku mencubit tanganku dia
sudah menyunggingkan senyumnya sesaat setelah gelang itu berada di pergelangan
tangan kirinya. Dia menatap mataku dengan tajam. Tatapan yang tak bisa
kumengerti. Tapi aku bahagia. Bisa mendapatkannya. Perempuan bermata cokelat
dan beralis indah itu.