Saya
akhirnya menemukan lagi novel yang sempat lupa saya simpan di mana.
Suwung. Pemberian dari tim Republika Online sebagai bingkisan tulisan
yang saya kirimkan pada mereka. Dimuat ternyata. Padahal saya sudah
melupakannya sejak tulisan tersebut pertama kali dikirimkan. Maklum
bukan lomba. Jadinya saya melupakannya begitu saja. Beda cerita kalo
menulis buat lomba apalagi kalau yang hadiahnya memang saya inginkan.
Beberapa
hari yang lalu saya sudah menyelesaikan novel U-Turn yang saya
dapatkan dari Plotpoint di Workshop Menulis yang diadakan Tulis
Nusantara. Ternyata begitu caranya menuliskan sebuah novel yang bisa
membuat seseorang pada akhirnya memutuskan untuk membaca tulisan dari
awal sampai akhir. Bahkan dengan teliti. Ada hal-hal yang tak ingin
dilewatkan pembaca sebab berkaitan dengan ending yang akan dia
temukan di halaman akhir.
Memang
saya tak menemukan dua halaman pertama yang membuat saya
bertanya-tanya saat membaca novel Suwung, beda dengan novel U-Turn
yang dua halamannya sudah menyedot semua perhatian saya. Walaupun
diputuskan sang kekasih adalah hal yang biasa, tetapi saya ingin tahu
alasan sebenarnya. Kecerdasan penulisan yang bolak-balik antara masa
lalu dan masa depan juga cukup menyenangkan. Sehingga alurnya tidak
monoton. Membuat kita mundur sebentar ke masa lampau untuk melihat
sebuah tindakan yang pada akhirnya menyebabkan masa depan sang tokoh
seperti yang digambarkan penulis di dalam novel tersebut.
Dibandingkan
Suwung, U-Turn memang bahasanya cair dan mudah dicerna. Tetapi Suwung
sendiri memenuhi kriteria selera buku yang selalu saya sukai
sepanjang masa. Bahasa yang dia gunakan itu indah. Penuh dengan
cahaya. Membuat saya bisa menikmati setiap baris dengan lambat dan
konsentrasi. Memperkaya bahasa yang saya saya miliki. Tapi setiap
novel punya ciri khasnya masing-masing. Suwung dan U-Turn punya
kelebihannya dan kekurangannya. Saya akan tetap membaca keduanya
karena saya sangat suka membaca.
Kamu
sedang baca buku apa sekarang?