Cinta Putih [Bagian 11]
Cinta Putih [Bagian 12]
Aku
masih bisa merasakan hangatnya terakhir kali aku menggenggam tangan
Renata. Aku bahkan masih bisa membayangkan tatapan matanya. Suaranya
yang bening masih jelas di telingaku. Berapa kali pun aku mencoba aku
juga tak bisa menghilangkan suara-suara yang menggema ketika ijab
kabul pernikahannya selesai diikarkan. Semuanya masih membekas begitu
jelas.
Aku
merasa hampa. Hanya bisa termangu di halaman belakang sambil menatap
dedaunan kering yang berjatuhan. Satu persatu perlahan menyentuh
tanah yang sebagian gundul rumputnya. Aku membiarkan teh yang aku
letakkan di meja mendingin. Tak tersentuh oleh tanganku. Aku
mendengar pintu rumah bagian belakang terbuka. Seseorang menuju ke
sini. Sudah pasti ibuku yang setiap hari dengan sabar menemaniku di
sini akan menjemputku untuk masuk.
Ternyata
aku begitu lemah saat dilanda patah hati. Sedemikian hebatnya cinta
menusuk hatiku.
“Bang
Tian?”
Suara
asing menyapaku. Aku terkejut. Sebab aku tak punya saudara perempuan
yang akan memanggilku abang. Mata kami bertemu. Aku melihat alisnya
yang tebal dan matanya yang pekat. Senyumannya canggung. Beberapa
detik memikatku. Lebih kuat dari pertama kali aku bertemu Renata.
“Kamu
siapa?”
“Owh
maaf, kalau Abang ingin sendirian, Hanna bisa menunggu di dalam.”
“Menunggu
di dalam.”
“Keluarga
kita ada di dalam, Hanna diminta ke sini memanggil Abang.”
“Keluarga
kita?”
Dia
menyelipkan anak rambutnya di telinga kanannya dengan gerakan
perlahan. Dia semakin canggung saat kuperhatikan. Aku semakin ingin
menggodanya yang kebingungan menghadapiku.
“Hanna
tahu pasti Abang juga tidak suka dengan perjodohan ini, rasanya
memang konyol masih ada keluarga yang saling menjodohkan anak mereka
hanya karena saling mengenal baik satu sama lain. Sedangkan anaknya
bisa jadi sama seperti kita, tidak saling kenal.”
“Perjodohan
kita?”
“Bukannya
Abang sudah diberi tahu kalau keluarga kami akan datang ke sini untuk
membicarakan masalah pernikahan kita. Tapi tentu saja Hanna bisa
lebih berani menolak kalau Abang sendiri menolaknya.”
“Pernikahan?
Memangnya berapa umurmu sekarang?”
“Dua
puluh satu hari ini.”
“Dua
puluh satu? Kamu terlihat seperti anak SMP.”
Hanna,
tubuhnya memang terlihat kecil. Wajahnya juga masih terlalu imut
untuk perempuan berusia 21 tahun.
“Semua
orang memang selalu mengira begitu. Padahal Hanna sekarang sudah
bekerja.”
“Bekerja?”
“Iya,
Hanna membuka sebuah toko bunga sekarang.”
“Di
sini banyak bunga, Ibu selalu membeli bibit bunga setiap minggu untuk
dikembangbiakkan di halaman belakang sini. Jangan-jangan Ibu
membelinya di toko bungamu?”
“Iya,
dia selalu datang di akhir pekan. Soalnya setiap minggu ada bibit
bunga baru yang kami datangkan.”
“Banyak
sekali bunga yang ditanam Ibu di sini.”
“Jadi
bagaimana dengan keluarga kita di dalam? Apa Abang tak ingin masuk
dan memutuskan sendiri apa yang harusnya kita lakukan?”
“Akhir-akhir
ini aku sedikit terguncang sebenarnya, tapi bunga-bunga di sini cukup
membuatku tenang. Ternyata penjualnya tak kalah indah dari bunga
yang bermekaran di sini.”
“Bang
Tian sedang merayuku?”
“Kamu
polos sekali, Hanna. Tentu saja aku sedang merayumu. Mungkin kita
bisa mencoba untuk kencan terlebih dahulu, jalan-jalan, nonton
mungkin.”
Perempuan
itu terdiam.
“Owh
maaf, Hanna. Padahal kamu sudah susah payah mengatakan ingin
membatalkan perjodohan kita. Tentu saja aku akan mendukungmu jika
memang kamu tak ingin kita menikah. Ayo kita ke dalam.”
Matanya
berkaca-kaca. Aku sudah berdiri. Tapi dia sendiri tak bergerak. Dia
menatapku lekat-lekat.
“Kamu
mengapa menangis?”
Perlahan-lahan
pipinya menjadi basah dan membentuk anak sungai di pipinya yang
putih.
“Maaf,
Bang. Hanna pikir tidak ada satu orang pun yang akan merayu Hanna.
Selama ini semua orang melihat Hanna sebagai anak kecil. Bukan
perempuan dewasa. Hanna menolak perjodohan ini pun karena Hanna tak
percaya diri untuk diterima. Bisa bertemu dan mengenalkan diri
sebagai perempuan dewasa pun rasanya sudah cukup menyenangkan.”
“Jangan
menangis. Hapus air matamu sekarang.”
Aku
membuang tatapanku ke tanah saat air matanya semakin deras.
“Maaf,
Bang. Hanna memang seharusnya tidak menangis.”
“Bukan
salahmu, Hanna. Percaya dirilah sedikit. Aku hanya takut tak bisa
menahan diri untuk tak memelukmu jika tangisanmu tidak kamu
hentikan.”
Tangisan
itu berubah jadi tawa. Tawanya terdengar begitu merdu. Canggungnya
lenyap seketika. Binar matanya membuatku benar-benar terpikat.
Barangkali ini jatuh cinta yang sebenarnya? Entahlah. Kita lihat saja
nanti.