Cinta Putih [Bagian 11]
Cinta Putih [Bagian 12]
Ingin
rasanya aku memiliki sayap atau setidaknya pintu ke mana saja supaya
aku bisa menghentikan pernikahan yang sangat tidak masuk diakalku.
Renata. Aku tahu dia sangat keras kepala. Tapi seharusnya dia punya
satu bagian untuk mempertimbangkan kembali untukku. Memikirkan
bagaimana yang seharusnya aku rasakan. Memikirkan cinta yang baru aku
utarakan. Tetapi dia tetap Renata. Dia tak akan memikirkan terlalu
lama saat memutuskan sesuatu. Tidak akan memikirkan bagaimana rasanya
menjadi orang lain.
Aku
tak mengerti.
“Leon,
lagi-lagi kamu melamun di sini.”
Aku
hanya menatap sebentuk wajah berkaca mata yang langsung duduk di
sampingku. Menemani aku yang berusaha tak kesepian dengan berada di
taman seramai ini. Meskipun pada akhirnya aku tetap merasa sendirian.
“Kamu
bolos kuliah lagi hari ini. Ada apa?”
“Aku
lagi malas saja.”
“Kedengaran
seperti bukan Leon yang aku kenal yang bicara.”
“Masih
Leon yang sama kok.”
“Kamu
masih memikirkan Renata?”
“Menurutmu?”
“Sekarang
mungkin dia sedang menikmati pernikahannya tanpa memikirkanmu.”
“Bisa
jadi.”
“Sepanjang
yang aku kenal Renata memang seperti itu. Walaupun aku tidak berada
sedekat dirimu dengannya. Aku rasa aku tahu dia memang begitu.”
“Setiap
orang punya pendapatnya masing-masing.”
“Maaf
kalau aku ikut menambah luka di hatimu, tapi hidup bukan hanya
masalah cinta. Bahkan Renata menikah dengan Jun bukan karena dasar
cinta kan? Tapi dia berani menghadapinya. Lama-lama rasa cinta juga
akan tumbuh jika sudah terbiasa bersama.”
“Memangnya
sekarang kamu jadi ahli cinta, Mey?”
“Hanya
orang yang pernah terluka yang akan tahu bagaimana cara menghadapi
patah hati.”
“Kamu
patah hati? Kamu bahkan tak pernah pacaran dengan siapa pun, Mey.”
“Itu
karena aku jatuh cinta pada orang yang mencintai orang lain. Bahkan
saat aku berada di sampingnya dia masih membicarakan perempuan itu.
Mungkin aku dulu tak cukup berani untuk mengakui aku mencintainya
sebab aku hanya akan merusak persahabatan yang selama ini kami bina.”
“Siapa
orangnya Mey? Lelaki mana yang tidak bisa jatuh cinta denganmu? Kamu
baik, menarik, enak diajak ngobrol, bahkan aku bisa menceritakan apa
pun denganmu. Katakan padaku siapa lelaki itu.”
“Kamu.”
Jawaban
pelan Mey membuatku beku. Namun senyumannya mencairkanku kembali. Dia
mengatakannya dengan ringan. Wajah riangnya tak berubah sama seperti
hari pertama kami bertemu di kampus biru ini. Seakan-akan dia sedang
menjawab pertanyaanku ingin makan apa. Seringan itu. Seringan dia
mengatakan akan makan nasi goreng kesukaannya ketika berada di warung
langganan kami.
“Kamu
tak perlu menjawabnya. Karena aku tidak sedang bertanya. Sekarang
kamu tahu bagaimana rasanya menjadi aku kan? Melihat orang yang kita
cintai bertahun-tahun tidak balik mencintai kita.”
“Aku
tidak tahu harus menjawab apa, Mey.”
“Sudah
kukatakan aku tidak meminta jawaban apa-apa. Aku hanya ingin kamu
tahu siapa orang yang aku cintai hingga hari ini. Tapi aku tak
menjanjikan aku masih terus mencintaimu selamanya. Aku harus move
on bukan? Menemukan cinta yang
lain bisa jadi pilihan terbaik.”
“Cinta
seperti itu?”
“Kita
bisa jatuh cinta berkali-kali, Leon. Tidak hanya satu kali. Tidak
hanya untuk satu orang.”
“Buat
aku jatuh cinta.”
“Curang,
Leon.”
Mey
hanya tertawa ringan. Barangkali memang cinta seperti itu. Hari ini
kita patah hati tapi tentu saja Tuhan menciptakan hati sedemikian
kuatnya untuk menerima cinta yang lain lagi. Entah itu Mey, entah itu
perempuan yang aku lewati di perpustakaan kampus. Bisa jadi cinta itu
masih berjalan di tempat yang lain dan belum tiba di depanku. Aku
hanya harus siap untuk mencoba lagi.