Cinta Putih [Bagian 11]
Aku
telah mengganti pakaianku dengan baju tidur yang disiapkan ibu. Jun
telah berbaring sejak tadi dengan sebuah buku yang tak lepas dari
pandangannya. Aku tahu dia tak berniat untuk membuat malam ini
menjadi malam pertama seperti malam pertama pengantin pada umumnya.
Aku pun demikian. Rasanya berada di tempat tidur yang sama sudah
cukup membuatku canggung. Lampu yang menyala hanya tinggal lampu
baca.
Kamar
ini tidak begitu besar tidak pula begitu kecil. Masih sangat asing
sebab ini pertama kalinya aku berada di rumah ini. Rumah yang telah
dipersiapkan orang tuaku dan orang tua Jun untuk kami berdua.
Sekarang kami berdua tak punya alasan untuk tinggal di tempat yang
lain bukan? Barang-barang kami memang belum sempat dipindahkan.
Semuanya memang sangat mendadak.
Helaan
napas Jun satu-satunya yang bisa aku dengar di sini. Perlahan aku
ikut masuk ke dalam selimut. Berada di sebelah kiri Jun yang bahkan
tak memandangku sama sekali. Apakah dia juga canggung berada di sini?
Detik-detik berlalu tanpa suara kami. Hanya detak jantungku dan
helaan napasnya yang memenuhi ruangan ini.
“Jun.”
“Iya.”
“Maaf
kalau semuanya jadi aneh begini. Memang semuanya terlalu cepat. Tapi
kita sudah sama-sama dewasa dan ini adalah hal yang orang dewasa
lakukan bukan? Mempertanggungjawabkan apa yang seharusnya menjadi
tanggung jawabnya.”
“Tidurlah.”
“Jadilah
Jun yang biasanya aku kenal. Jangan diamkan aku begini terus.”
“Kalau
Jun yang biasanya kamu kenal seharusnya dia tidak berbaring di
sebelahmu seperti ini. Dia akan tidur di sofa.”
“Apakah
memang aku salah telah memintamu menyelesaikan janji kedua orang tua
kita?”
“Bukan
kamu yang salah, Renata. Keadaan yang memang rasanya belum cukup siap
untuk menempatkan kita sebagai suami istri.”
“Memangnya
apa bedanya menikah sekarang atau tahun depan. Toh ujung-ujungnya
kita akan menikah.”
“Kamu
mengatakannya seperti itu, seakan-akan pernikahan adalah sebuah
bisnis. Seperti hutang-piutang.”
“Memangnya
aku harus bagaimana?”
“Lihat
aku sebagai seorang lelaki dan pernikahan ini adalah kebahagiaan.”
“Sebenarnya
tak ada bedanya bagiku menikah denganmu atau tidak. Kamu tetap Jun
yang sama.”
“Kamu
ingin melihat perbedaannya?”
Aku
tak sempat menjawabnya saat Jun menarikku dan segera mendaratkan
ciumannya di bibirku. Aku sesak napas dan dia tak berhenti. Aku
membiarkannya. Memang ini yang seharusnya terjadi bukan? Tak ada
bedanya aku menghindarinya. Aku tetap akan menjadi istrinya dan tak
bisa terpisahkan lagi. Sebab aku ingin memegang janji yang sudah
dibuat kedua orang tuaku dengan kedua orang tuanya.
Saat
aku membuka mataku rasanya aku melihat diri Jun yang dulu. Jun yang
masih kecil. Kedua orang tuaku. Semua tawa iitu terdengar nyata. Di
dalam pelukan Jun yang basah oleh keringat satu-persatu potongan
ingatan yang menghilang itu menghampiriku. Tidak begitu jelas tapi
rasanya aku mengerti perasaan hangat yang mengalir di dalam darahku.
Mengiringi detak jantungku yang mengalun dengan cepat.
Aku
rasa aku jatuh cinta lagi malam ini. SELESAI.