Tulisan
ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu
ketujuh.
Seandainya
saya tidak ngeblog saya tidak akan masuk TransTV. Baiklah tulisan ini
akan menunjukkan sisi sepok laut
saya. Sisi saya yang memang kampungan.
Ceritanya
beberapa minggu yang lalu saya tiba-tiba dihubungi oleh pihak TransTV
yang sedang meliput di Pontianak. Mereka menemukan saya melalui
tulisan saya di blog ini yang menceritakan tentang Jembatan Kayu
Terpanjang di Asia Tenggara. Jembatan yang lebih masyarakat Pontianak
kenal dengan sebutan gertak.
Karena jembatannya terbuat dari kayu.
Pertama
kali menuliskan tentang hal tersebut sebenarnya saya tidak pernah
memikirkan bahwa tulisan tersebut akan membuat saya ditayangkan di
televisi. Maklumlah saya ini dari kampung. Kalau bisa masuk televisi
kesannya itu semacam sajaaaaa. Selama ini tahunya yang masuk televisi
ya artis atau orang-orang besar lainnya. Tentunya bukan saya.
Mimpi
apa saya malam itu tiba-tiba paginya dihubungi dan langsung diminta
untuk syuting. Wetssss... jantung saya berdegub kencang sekali.
Maklum saya memang tidak pernah masuk televisi untuk diwawancara
sebelumnya. Saya tahu wajah saya tidak lama ada di televisi waktu
itu. Hanya sekitar beberapa menit. Tapi rasanya sangat menyenangkan.
Tidak dibayar apa-apa sih.
Namun,
saya hadir karena tulisan saya. Mereka beranggapan saya layak untuk
tampil di layar kaca karena saya menulis. Seandainya saya tidak
ngeblog mungkin pengakuan terhadap tulisan saya yang ini juga tidak
akan pernah ada. Dalam mimpi pun tak akan pernah terbayangkan saya
akan diliput di sebuah televisi nasional.
Orang
tua saya bangga. Nenek saya bangga. Saudara saya bangga. Bahkan orang
sekampung masih membicarakan perihal munculnya wajah saya di televisi
nasional. Maafkan sisi sepok laut
saya ini. Namanya juga bukan seleb tiba-tiba bisa masuk televisi.
Rasanya itu tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Apalagi
ketika ibu saya sibuk menunggu beritanya muncul pas paginya. Lalu
ternyata muncul empat hari kemudian dan ibu saya ketinggalan. Betapa
lucunya ibu saya yang sibuk melototin televisi hanya untuk menonton
tayangan tersebut.
Ah!
Saya jadi ingat almarhum kakek saya yang selalu mengatakan bahwa
kegiatan menulis saya tidak ada manfaatnya. Saya tahu dia berpikiran
demikian karena kami ada di kampung dan jauh dari hal-hal yang berbau
teknologi. Jangankan buat ngeblog, diterbitkannya tulisan dalam
bentuk buku pun rasanya mustahil. Siapa yang akan menerima tulisan
tangan yang dituangkan dalam kertas bekas ulangan yang saya jilid
jadi buku?
Saya
tahu dia resah melihat masa depan cucunya yang malas belajar. Sibuk
membaca buku cerita dan lebih sering menulis sambil menonton televisi
hitam putih harta berharga milik Aki. Seandainya sekarang dia masih
hidup, saya ingin mengatakan bahwa banyak orang yang mengakui
keberadaan saya hanya karena saya rajin menulis.
Masa
depan jangan dirisaukan, Ki. Di garis tangan sudah tertuang nasib
cucumu ini. Yakinlah dan percayalah. Hanya itu yang Aki butuhkan
untuk mempercayakan pilihan seorang cucu yang malas belajar ini. Cucu
yang tidak mengejar ranking di sekolahnya ini. Cucu yang paling hitam
ini.
Seandainya
saya tidak ngeblog, percaya terhadap kemampuan menulis sendiri
rasanya akan semakin mengecil. Saya akan terperangkap di dalam
ruang-ruang kosong yang saya ciptakan sendiri. Namun karena saya
memberanikan diri untuk melempar tulisan saya ke khalayak umum,
banyak hal yang tak pernah saya pikirkan benar-benar terjadi.
Dulu,
sebelum saya ngeblog, saya mendapatkan pembaca pada tulisan offline
saya di buku yang jumlahnya tak seberapa itu rasanya sudah sangat
menyenangkan. Saat mulai ngeblog, saya juga senang ada yang mau
menyempatkan diri mampir dan membaca tulisan saya. Seandainya saya
tidak ngeblog, saya pikir saya tidak akan menjadi diri saya yang
sekarang. Seseorang yang terbentuk dengan tempaan di blognya setiap
hari.