Cerita sebelumnya
Aku
tak bisa mengerti jalan pikiran mereka berdua. Meninggalkanku
sendirian. Apa yang akan mereka bicarakan? Apakah mereka akan
benar-benar berkelahi? Entahlah. Aku sudah tak peduli lagi dengan
sikap bodoh mereka.
“Kok
cepat pulangnya?”
Aku
menyimpan sepatuku di rak dan melihat kakak laki-lakiku masih sibuk
nonton televisi.
“Mereka
berdua menemukanku di jembatan. Seharusnya Abang tidak bilang aku di
sana.”
“Leon
pasti menemukanmu di sana, tidak adil rasanya Abang tak mengatakannya
pada Tian.”
“Abang
sengaja?”
“Sepertinya
akan sangat seru melihat mereka berdua berkelahi.”
“Abang
ingin mereka berkelahi?”
“Sesekali
Leon harus menunjukkan kalau memang dia ingin memilikimu, sejak dulu
sudah jatuh cinta padamu tapi tak bisa mengatakannya, lucu kan?”
“Menurut
Abang itu lucu?”
“Kemarilah,
duduk dekat Abang.”
Aku
bergerak mendekatinya. Duduk di sampingnya. Menarik bahunya dan
meletakkan kepalaku di sana.
“Jangan
terlalu nempel sama Abang.”
“Biar,
Abangkan abangku.”
“Kamu
tahu apa yang akan Abang lakukan kalau kamu sedang sedih seperti
ini?”
“Aku
sedih? Aku tidak sedih kok.”
“Ayolah,
akui saja kamu sedang sedih.”
“Baiklah,
Abang menang. Aku memang sedang sedih.”
“Keluarkan
saja kesedihanmu.”
“Aku
tak ingin persahabatanku dengan Leon berantakan hanya gara-gara dia
ingin menikahiku. Bukankah seharusnya dia hanya menjadi sahabatku
saja. Tak perlu ada rasa cinta segala. Aku juga kasihan dengan Tian.
Aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Tapi aku rasa aku tidak bisa
memilih antara mereka berdua. Itu akan menyakiti satu di antara
mereka nantinya.”
“Lalu
bagaimana?”
“Aku
ingin semuanya kembali seperti dulu. Saat aku dan Leon masih kecil.
Tak ada perasaan yang aneh yang akan tumbuh di antara kami. Tak ada
Tian.”
“Itu
egois namanya.”
“Aku
juga bingung, aku tak mengerti rasanya jatuh cinta. Abang juga tak
pernah mengajariku tentang cinta.”
“Kamu
ingin abang mengajarimu?”
“Aku
tak punya siapa pun yang bisa menunjukkan padaku rasanya jatuh
cinta.”
“Kamu
tidak tahu rasanya?”
“Abang
juga tak pernah jatuh cinta bukan?”
“Dari
mana kamu tahu?”
“Abang
tak pernah punya pacar.”
“Apakah
kita harus punya pacar baru dikatakan kita pernah jatuh cinta?”
“Setidaknya
memang sudah harus seperti itu bukan?”
“Bagaimana
kalau Abang memang mencintai seseorang sejak dulu dan dia juga
katanya mencintai Abang tapi sekarang melupakannya?”
“Dia
melupakan pernah mengatakan dia mencintai Abang? Itu jahat sekali.
Abang harus tanyakan padanya.”
“Apakah
kamu tidak ingat apa pun, Ren?”
“Ingat
apa?”
“Dulu,
kamu sendiri yang bilang akan menjadi pengantinku. Apakah kamu lupa?”
“Abang
bicara apa? Kita kan bersaudara?”
“Sudah
bertahun-tahun berlalu dan aku terus menunggumu mengingat masa-masa
dulu. Apakah kamu benar-benar melupakan semua kenangan kita?”
“Kenangan
kita? Abang bicara apa sih?”
Dengan
satu gerakan laki-laki yang selama ini aku anggap abang mendorongku
ke sofa. Kedua tanganku dia pegangi dan mata kami bertatapan sangat
lama.
“Apakah
benar-benar kamu telah melupakan perasaan itu? Aku menunggumu hingga
hari ini. Membiarkan bersama dua orang laki-laki yang ingin
mengambilmu dariku. Kamu sendiri yang bilang akan menikah denganku
jika suatu hari nanti kita telah dewasa. Sekarang kita sudah dewasa.
Aku tak peduli kamu ingat atau tidak. Aku tanya sekarang, apakah kamu
mau menjadi pengantinku?”
“Abang
bicara apa?”
Suaraku
meninggi. Aku berontak dan berlari meninggalkannya. Terburu-buru aku
mengunci kamar. Langkahnya terdengar mengejar dan mengetuk pintuku
berkali-kali.
“Buka
pintunya, Renata.”
“Biarkan
aku sendiri, jangan ganggu aku.”
Sekarang
aku benar-benar kacau. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Siapa aku?
Siapa laki-laki yang selama ini aku anggap saudaraku?
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).