Cerita sebelumnya
Tian mendekatkan wajahnya dan menatapku yang terus saja menunduk.
“Hari ini bersikaplah sebagai seorang kekasih, Ren.”
Aku mengunci mulutku rapat-rapat. Tian menarikku lebih dekat ke
arahnya. Perlahan, bibir kami bertemu beberapa detik. Ada perasaan
menghangat menjalar ke dalam hatiku.
Aku tenggelam dalam dekapannya.
Membalas semua ciumannya. Akhirnya semuanya selesai dan aku membuka
mataku pelan-pelan.
Pipiku memanas. Aku yang tadinya menolak sekarang
merasa sangat malu. Tubuhku tak sejalan dengan pikiranku.
“Kamu masih bisa mengatakan kamu tidak tahu dengan perasaanmu
sendiri, tapi...”
Aku menutup bibir Tian. Aku tak mau mendengar kesimpulan yang dia
buat. Karena aku tahu, dia ingin mengatakan bahwa aku juga
mencintainya. Aku tak tahu. Bagaimana aku tahu? Aku tak pernah jatuh
cinta sebelumnya. Aku tak pernah dekat dengan laki-laki lain selain
Leon. Tak pernah menggenggam tangan yang lain selain milik Leon. Sekarang Tian?
“Bisakah kita pulang sekarang?”
“Iya aku akan mengantarmu pulang.”
Sekarang tangan Tian yang besar itu menggenggam tanganku yang
kedinginan. Cuaca akhir-akhir ini memang selalu dingin, beruntung
hari ini tak turun hujan. Sehingga kami bisa berjalan di bawah cahaya
langit malam yang bertabur bintang. Dengan bergenggaman tangan.
“Kamu tahu bagaimana sayangnya aku sama kamu, Ren.”
“Iya, aku tahu.”
Aku tak berani menatap wajahnya. Rasanya pipiku masih memerah. Aku
sangat malu. Untuk pertama kalinya ada yang sedemikian dekat dengan
wajahku. Bahkan Leon tak pernah sedekat itu. Sekarang aku memikirkan
Leon lagi padahal Tian sudah memintaku untuk tidak memikirkan
sahabatku itu lagi. Tapi aku sudah tak sabar untuk segera tiba di
rumah dan menyalakan ponselku.
Aku turun dari mobil yang dikemudikan Tian. Dia ikut turun dan
menggandengku hingga depan pintu. Sejak tadi aku sudah menyiapkan
anak kunci di tangan kananku agar tak perlu terlalu lama berada di
luar. Aku ingin cepat-cepat berpisah dengan Tian dan masuk ke
kamarku.
“Sebentar...”
Tian menahan tanganku yang memutar anak kunci dengan terburu-buru,
setelah melihat arloji di tangan kanannya.
“Apa lagi?”
“Masih 15 menit sebelum hari ini berakhir.”
“Terus?”
Tian mendorongku ke pintu yang masih belum berhasil aku buka. Aku
takut tak bisa menolak ciumannya lagi dan itu semua mengacaukan
pikiranku. Aku tak bisa berpikir dengan baik kalau begini keadaannya.
“Angkat wajahmu, Renata.”
“Tidak!”
“Aku tidak akan menciummu lagi, percayalah.”
Aku masih menundukkan wajahku sambil menahan napas.
“Terima kasih untuk hari ini. Maaf telah menciummu. Aku tadinya
berpikir kamu akan mendorongku dan menamparku sebelum aku sempat
menyentuhmu.”
“Sudahlah, lupakan saja. Aku tidak apa-apa.”
“Aku tidak akan melupakannya, Ren. Ini ciuman pertamamu kan?”
“Jangan mengingatkanku lagi tentang itu.”
“Aku berharap aku lelaki pertama dan terakhir yang merasakan ini
denganmu. Aku tak ingin ada laki-laki lain lagi. Semakin lama aku
berada di dekatmu, semakin dalam perasaanku. Tapi tentu saja aku
tidak akan memaksamu untuk menerimaku. Aku hanya ingin minta tolong
tegaslah dalam memilih. Jika memang tak mau, tolaklah. Namun kalau
kamu memang mau, terimalah. Jangan sia-siakan.”
Tian mendaratkan ciumannya di dahiku sebelum akhirnya meninggalkanku
di depan pintu dengan perasaan tak karuan. Terburu aku membuka pintu
dan menguncinya kembali. Dari jendela yang gorden yang tersibak aku
memperhatikan mobil Tian perlahan-lahan menghilang di persimpangan
jalan yang lembab.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).