Cerita Sebelumnya
Wajah Tian kaku. Dia tak menyentuh makanannya sama sekali. Aku sejak
tadi lahap sendiri. Entah karena lapar atau memang makanannya enak.
Mata Tian bertemu dengan pandanganku saat aku mengangkat kepalaku.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa.”
Jawaban yang keluar pun terdengar dipaksakan. Seakan-akan Tian ingin
mengatakan sesuatu.
“Ada apa?”
“Menikah denganku.”
Sekarang aku yang bingung menjawabnya. Mata kami bertemu. Aku tahu
cara dia menatapku sekarang sangat serius. Dia tidak sedang
main-main.
“Tian, kamu bicara apa?”
Tian mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari sakunya.
Membukanya perlahan dengan tatapan yang tak lepas dariku. Kemudian
berlutut, tak peduli dengan semua mata yang ikut tertarik untuk
memperhatikan kami.
“Jangan begini dong Tian.”
“Jawab, maukah kamu menikah denganku.”
“Ini terlalu cepat.”
“Tidak ada yang namanya terlalu cepat, aku ingin kamu untukku
selamanya. Bukan hari ini saja.”
“Beri aku waktu.”
“Setidaknya jangan membuatku malu di sini, Ren.”
Ragu-ragu aku mengulurkan tangan kananku. Menerima cincin yang
didorong Tian melingkari jemari manisku. Dia tersenyum. Wajah-wajah
yang sedari tadi memperhatikan kami sekarang tersenyum bahkan ada
yang bertepuk tangan.
“Aku mau pulang.”
Tak menyelesaikan makan malam yang seharusnya romantis itu dan
menyambar tas yang berwarna hijau muda dari atas meja. Segera
melangkah menuju pintu kaca yang tinggal kudorong dengan tangan
kanan. Tian meninggalkan beberapa lembar uang di meja sebelum
akhirnya menyusulku. Aku memasukkan sebelah tanganku ke saku jaketku.
Terlalu dingin dan aku sedang tak ingin memegang tangan Tian.
“Aku ingin melepaskan cincin ini tapi tak bisa.”
Kutunjukkan jari manisku yang sekarang dilingkari cincin emas yang
ukiran sederhana di atasnya.
“Apakah memang sulit bagimu untuk menolak atau menerimaku, Ren?”
Aku terdiam. Arah pembicaraan ini semua semakin serius. Seperti wajah
yang Tian tunjukkan. Wajah yang tak ingin aku lihat. Menyedihkan
melihatnya.
“Aku tahu aku yang memaksamu untuk pacaran denganku. Tapi sudah
cukup lama waktu yang kita lalui bersama. Enam bulan, Ren. Sekarang
aku siap jika kamu mengatakan akan berpisah denganku.”
“Berpisah?”
Selama ini aku tak pernah berpikir Tian akan mengatakan itu. Dia
begitu menggebu-gebu. Dia terlihat sangat menginginkanku dan rela
memberikan apa pun untuk memilikiku.
“Setahun rasanya terlalu lama, aku tak bisa lagi menunggu.”
Iya, setahun, dua belas bulan waktu yang Tian minta untuk membuktikan
cintanya padaku. Aku menerimanya dan dia siap dengan segala
konsekuensinya. Selama setahun aku akan menjadi kekasihnya. Kemudian
jika dalam setahun aku tetap tidak merasakan apa-apa saat bersamanya
aku boleh memutuskan hubungan ini dan Tian tidak akan pernah
menggangguku lagi. Aku pikir dengan adanya Tian aku akan punya
sahabat baru untuk bermain bersama. Ada yang akan menemaniku setelah
kepergian Leon. Selama ini aku memang terjebak di sisi Leon. Tak
pernah terpikir olehku bahwa aku akan berpisah dengannya. Lalu aku
menjadi kesepian.
Apakah memang Tian hanya aku anggap sebagai teman?
“Tidak pernah terlintas dalam kepalaku akan ada lamaran segala
dalam hubungan kita ini. Sejak awal aku hanya memberikan kesempatan
untukmu membuktikan kamu benar-benar mencintaiku. Apakah belum cukup
hanya dengan menjadi kekasihmu? Berapa lama waktu yang kamu minta
untuk menjadi suamiku?”
“Selamanya, sampai kematian memisahkan kita.”
“Tian aku serius.”
“Aku juga serius.”
“Aku belum bisa menjawabnya.”
Langkahku kupercepat agar segera terpisah dari Tian. Aneh sekali
rasanya aku dilamar seperti ini. Mengapa aku tak bisa menjawabnya?
Setidaknya menolaknya?
Tian menyambar tanganku dan membawaku berlari.
“Mau kemana?”
“Kamu milikku hari ini, dan masih ada beberapa jam sebelum hari ini
berakhir.”
“Tapi ini sudah malam Tian.”
“Aku ingin bersamamu lebih lama lagi malam ini, saat kamu hanya
memikirkanku dan tak memikirkan orang lain.”
“Kamu egois!”
“Kamu bahkan belum memberikan kado ulang tahun untukku.”
Kami saling berbicara dengan suara keras sambil berlari.
“Bagaimana aku punya kado untukmu jika aku sendiri baru tahu hari
ini ulang tahunmu.”
“Itu salahmu sendiri, harusnya kamu cari tahu dong tentang pacarmu
ini. Setahun kamu akan jadi pacarku kan? Masa hal seperti itu saja
harus diajari lagi.”
“Itu karena aku tidak pernah pacaran, bodoh!”
Aku menyentakkan pegangan tangannya.
“Tidak pernah pacaran? Renata yang cantik dan populer ini tidak
pernah pacaran?”
Aku menggelengkan kepalaku sambil menunduk.
“Leon terlalu menjagamu. Mungkin kamu memang tidak mencintainya,
tapi bagaimana jika sebenarnya dia mencintaimu?”
“Tidak mungkin, Leon tak pernah menganggapku sebagai perempuan.
Kami sudah seperti saudara kembar. Harus berapa kali aku
mengatakannya?”
Aku mengangkat wajahku dengan kesal.
“Kalau kamu tidak pernah dipacari dengan siapa pun berarti kamu
belum pernah dicium?”
Tian maju beberapa langkah ke arahku. Aku mundur sekian langkah.
“Jangan macam-macam atau aku teriak!”
“Tak ada siapa-siapa di sini, tak akan ada yang mendengar
teriakanmu.”
“Tian!”
“Anggap saja ini kado ulang tahun untukku.”
Dia semakin berani mendekatiku. Dia berdiri di hadapanku dengan
sangat dekat. Aku bisa mendengar debaran jantungnya yang berdetak cepat. Seperti detak jantungku saat ini. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku dalam diam.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).