Cinta Putih [Bagian 11]
Ayah dan ibu duduk
bersebelahan di depanku, di sofa. Aku menatap mereka penuh harap.
Berharap mereka akan mengatakan semuanya. Sejujur-jujurnya. Karena
aku lelah menjadi satu-satunya orang yang tak tahu apa-apa di sini.
Tangan ibu berada di dalam genggaman ayah. Seakan-akan mereka
berhadapan pada pertanyaan yang paling menakutkan sedunia.
"Katakan saja, aku
akan mendengarkannya."
"Tapi, Ibu tidak
yakin ini baik untukmu, Nak."
"Katakan saja, aku
sudah siap. Ayah?"
"Jangan disembunyikan
lagi, Bu. Katakanlah."
"Waktu itu kami
berempat bersahabat, menikah dalam waktu yang berdekatan, dan membuat
janji untuk menikahkan anak kami jika suatu hari nanti memiliki anak
yang berbeda jenis kelaminnya. Rasanya semua begitu menyenangkan saat
itu. Bahkan rumah kami berdekatan. Tak ada hari yang kami lewati
tanpa kebersamaan. Kebahagiaan rasanya dalam genggaman. Hingga
kebakaran hebat merenggut nyawa kedua orang tuamu, bahkan merenggut
ingatanmu. Kamu masih kecil waktu itu, sangat kecil untuk memahami
kepergian orang tuamu dengan cara yang tragis. Tapi Tuhan dengan
sangat baik menutup ingatanmu yang menyakitkan itu. Kamu seakan-akan
terlahir kembali sebagai seseorang yang baru. Bahkan Ibu masih ingat
waktu pertama kali kamu bangun tidur di rumah kami, kamu memanggil
Ibu dan tenggelam dalam pelukan kami. Padahal kami sudah membayangkan
kamu akan histeris, menangis, meraung-raung meminta dipertemukan
dengan kedua orang tuamu. Otakmu melindungi dirimu dengan menutupi
ingatan masa kecil yang tragis itu. Ibu tak tahu bagaimana
menjelaskannya padamu tentang siapa dirimu sebenarnya. Kamu masih
terlalu kecil."
"Jadi janji
pernikahan itu memang benar-benar ada?"
"Kamu sudah tahu?"
"Abang yang
menceritakannya padaku, dia ingin kami menikah."
"Seharusnya memang
seperti itu, Renata. Ayah sudah melamarmu sewaktu ayahmu masih hidup.
Lamaran itu diterima. Hingga hari ini seharusnya lamaran itu masih
berlaku."
"Renata tidak
keberatan menikah dengan Abang, ini sudah janji orang tua Renata.
Sebagai anak, sudah sepantasnya Renata menyelesaikan janji mereka."
"Apa kamu tidak
apa-apa, Nak?"
"Aku baik-bai saja,
tapi aku tak tahu Abang ada di mana."
"Kamu tidak tahu dia
kembali ke rumah ini? Dia tidak mengatakannya padamu dia akan ke
sini?"
Mataku tertuju pada sosok
yang muncul dari tangga. Dia ada di sini menatapku dengan cara yang
sama waktu itu dia melihatku. Aku bimbang bagaimana harusnya bersikap
terhadapnya. Selama ini aku hanya mengingatnya sebagai saudaraku dan
sekarang aku menerima pernikahan itu. Bagaimana hariku selanjutnya?
Bukankah ini akan sangat aneh.
"Jun, ajak Renata ke
ruang atas. Kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan bukan?"
suara ibu terdengar lirih.
Laki-laki yang sekarang
tak bisa aku panggil abang lagi. Aku akan mencoba memanggilnya, Jun.
"Kamu siap, Renata?"
Jun, laki-laki itu,
menyalakan pemutar video dan siap menekan tombol 'play'. Aku hanya
menganggukkan kepalaku.
"Ini adalah semua
video rekaman keluarga kita. Semuanya disimpan untukmu, saat kamu
benar-benar siap mengingat semua masa lalumu, masa lalu kita."
Aku tak menyahut. Menunggu
video pertama dengan hati berdebar tak karuan. Apakah aku akan bisa
mengingatnya kembali? Lalu memandang semua yang ada di hari ini
dengan ingatan yang benar? Memandang Jun sebagai lelaki. Bukan
saudara kandungku.
"Tapi kalau kamu
tidak siap kamu tak perlu melakukannya. Kita bisa menunggu sampai
kamu benar-benar siap."
"Sekarang aku siap."
Tangan kiriku segera Jun
genggam saat ia menekan tombol 'play'.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).