Saya
sendiri sudah menjanjikan akan bercerita tentang seorang perempuan
yang akhirnya menjadi sahabat saya selama di Solo. Saya sendiri tidak
mengira akan ditempatkan satu kamar dengan blogger dari negara yang
berbeda.
Hal
pertama yang mengganggu adalah komunikasi.
Jangan
sampai terjadi miskomunikasi yang akhirnya membuat kami berdua gagal
memahami satu sama lain. Untungnya di sela-sela kepanikan saya yang
tersesat bersama Boy dan kelelahan sekali karena keliling di Solo
setelah datang dari Jogja, teman sekamar saya ini belum tiba.
Pesawatnya terlambat beberapa jam. Sehingga saya tidak begitu
memikirkan kamar yang berantakan sebab saya tak sempat mengemasi
barang-barang yang saya keluarkan sebelumnya dari koper rusak yang
ingin saya antar ke bandara.

Bahkan
pulang gala dinner pun teman sekamar saya belum datang. Saya pikir
jangan-jangan dia laki-laki atau tidak jadi datang. Namanya Chan (baca: chen),
nama lengkapnya waktu itu saya lupa. Sehingga saya curiga terjadi
kesalahan dari panitia yang mengira dia perempuan, seperti yang
terjadi di Bali sebelumnya.
Saat
saya hampir terlelap tertidur akhirnya Chan menekan bel dan menemukan
saya yang sangat mengantuk. Untungnya dia perempuan. Bonus lainnya
cantik dan baik. She is so nice. Beruntungnya lagi bahasa Inggrisnya
juga bukanlah yang sulit dipahami sehingga kami bisa berkomunikasi
dengan baik.
Hari-hari
selanjutnya tentu sangat menyenangkan bisa bersama-sama padahal saya
biasanya akan kesulitan untuk berdekatan dengan perempuan.
Menyenangkan rasanya dari banyak blogger luar negeri yang datang,
Chan yang satu kamar dengan saya.
Saya
tidak akan pernah melupakan tiga malam yang berharga itu. Banyak hal
yang kami bagi bersama. Terutama soal fobia saya terhadap
bunyi-bunyian, terutama alat musik gong dan gamelan termasuk juga
tanjidor dan rebana serta gendang-gendang. Siapa sangka dari ratusan
orang yang datang ke Asean Blogger Festival Indonesia 2013 kami
berdua ditempatkan di kamar yang sama dan punya fobia yang aneh.
Chan
sendiri fobia dengan sayuran hijau. Sama seperti saya yang
penyebabnya tidak diketahui dan saat kecil sudah menjadi fobia, Chan
tak bisa melihat sayuran hijau ada di meja makan. Parahnya lagi dia
tidak akan mau makan jika ada aroma sayuran hijau di sekitarnya. Saya
juga akan menjaga jarak dengan tempat yang bergema dan alat musik
yang menimbulkan bunyi yang menakutkan bagi saya.
Malam
itu kami bercerita banyak sekali mengenai fobia dan dia bahkan
mencatat fobia yang saya sebutkan sebagai fobia yang saya miliki.
Tak
ada orang yang benar-benar bisa memahami kita selain orang yang punya
masalah yang sama bukan? Terima kasih Tuhan telah mempertemukan kami
berdua. Meskipun sekarang fobia kami tak sebesar dulu, Chan juga
sudah bisa menghadapi sayuran hijau walaupun tak bisa memakannya.
Saya sendiri juga bisa melihat gamelan, gong, dan alat musik yang
bunyinya menakutkan bagi saya dan saya tidak akan menangis hanya
dengan melihatnya, berbeda dengan dulu. Tapi fobia tetap fobia.