Honeylizious.com - Harus
saya akui bahwa lebih menyenangkan jalan-jalan dengan Mia dan Elsa
dibandingkan Boy. Selain mereka tahu jalan dan tempat wisata, jauh
lebih seru sesama perempuan. Walaupun sebenarnya bersahabat dengan
perempuan bukanlah hal yang mudah. Sahabat perempuan saya bisa
dihitung dengan jari. Berbanding terbalik dengan laki-laki.

Hal pertama yang kami
lakukan setelah makan adalah istirahat satu jam. Kemudian
bersiap-siap ke pasar. Saya lupa nama pasarnya, tapi seingat saya ada
'Harjo'-nya dan diawali 'B'. Tentu saja ini bukanlah teka-teki
berhadiah tapi siapa pun boleh menebaknya kalau mau. Pasar ini banyak
menjual batik dan kerudung. Sepanjang yang saya lihat sih itu. Tapi
saya tak melihat lebih jauh lagi. Saya segera memilih banyak sekali
jilbab yang saya inginkan. Harganya yang super miring membuat saya
kalap. Awalnya tak ada niat belanja jilbab malah memborong.

Puas keliling pasar
tersebut kami masih lagi jalan-jalan dan singgah di toko-toko di
sepanjang jalan Malioboro. Sangat ramai dan semua orang begitu
semangat berdagang. Saat Magrib kami bertiga pulang dan mandi. Lalu
bersiap-siap untuk berjalan-jalan selanjutnya di alun-alun.
Sebelumnya saya sudah pernah mendatangi semua tempat wisata di Jogja
tetapi karena sendirian dan siang sepertinya ada banyak hal yang saya
lewatkan.
Malamnya memang kami makan
dulu di sebuah lesehan yang menyediakan puyuh goreng. Dengan harga
yang terlampau miring. Jadilah kami bertiga memesan empat piring
karena terlalu lapar. Soalnya saya yakin sekali kali ini saya tak
akan menemukan makanan yang manis di sini. Tidak ada kuah yang kami
pesan untuk menghindari menemukan makanan yang manis dan semuanya
digoreng.

Makan dengan lahap karena
selain sesuai dengan lidah, saya sangat menyukai burung dan terong
yang digoreng. Meskipun sambalnya dipertanyakan tingkat kepedasannya
yang jauh dari harapan, saya sangat senang bisa makan dengan kenyang
malam itu setelah mengalami kesulitan makan di Solo. Pertimbangan
terakhir adalah saya akan makan di Rumah Makan Padang jika masih tak
menemukan makanan yang sesuai dengan selera saya.
Biarkan saja nanti ada
yang mengatakan: "Jauh-jauh ke Solo ujung-ujungnya makan nasi
Padang?"
Kelar makan yang saya
perkirakan biaya totalnya 70ribuan ternyata cukup dilunasi dengan
uang 40ribu dan masih ada kembaliannya. Empat porsi makanan tiga
gelas minuman? 38ribu? Baiklah lupakan sejenak harga yang selama ini
saya pegang di Pontianak. Ini Jogja, Bung!

Kemudian kami bertiga
menuju alun-alun dan segera berjalan ke tengah. Awalnya saya sendiri
tidak tahu apa yang akan mereka lakukan karena saya hanya melihat
banyak orang yang berjalan dengan mata tertutup. Ternyata, ada
tradisi untuk berjalan di antara dua pohon beringin yang ada di
tengah lapangan dengan mata tertutup.
Banyak juga yang tidak
berhasil dan jalannya malah berbelok ke arah yang lain. Tentu saja
kami tertawa dan Elsa mengatakan: "Begitulah kalau orang yang
mata hatinya buta dan tertutup, tak akan bisa melewati bagian tengah
dua pohon beringin tersebut."

Saya menolak dengan alasan
kalau saya gagal Elsa akan menertawakan saya dan mengatakan hal yang
sama. Mengatakan bahwa mata hati saya buta. Tentu saja saya tak rela
sepanjang malam nanti dia akan menghina saya habis-habisan. Tapi Mia
berhasil meyakinkan saya untuk ikut melakukannya. Baiklah karena kami
tak menyiapkan penutup mata kami harus menyewa penutup mata yang
tersedia. Melupakan sejenak itu bekas digunakan orang.
Percobaan pertama saya
gagal. Namun saya sudah bertekad akan mencoba sampai berhasil, tak
peduli dipercobaan yang keberapa. Ternyata dipercobaan kedua saya
berhasil. Apa pun yang Mia dan Elsa lakukan selama mata saya
tertutup, saya tak peduli. Saya sudah berhasil. Capek jalan kaki kami
memutuskan untuk naik odong-odong yang penuh dengan cahaya lampu yang
berwarna-warni.

Belum sempat memilih,
seorang lelaki menawarkan kami odong-odongnya. Satu putaran 25ribu.
Tawar-menawar berlangsung alot dan kami pergi karena pemilik
odong-odongnya terlalu sombong dan banyak aturan. Menyeberang untuk
menawari kami saja dia tak mau. Dia hanya melambaikan tangan dan
meminta kami yang menyeberang. Kemudian saat tawar-menawar juga
caranya sangat tidak menyenangkan.
Dia bilang: "Harga
segini sudah murah, tanya saja yang lain kalian tidak akan
mendapatkan harga semurah ini."
Sebagai seorang pedagang
saya yakin sekali kalimat itu hanya akan menyerang diri kita sendiri.
Harusnya dia membuat penawaran yang lebih baik. Apalagi saya sendiri
tidak begitu berniat untuk naik odong-odong. Malah saya lebih suka
kami numpang foto-foto saja lalu duduk minum di meja-meja yang
disusun di pinggir lapangan. Sayangnya saat saya ingin numpang
foto-foto sang pemilik odong-odong yang sombong itu malah bertanya:
"Ini jadi atau tidak?"

Kami bertiga langsung
kabur mencari odong-odong yang lain. Kemudian seorang perempuan
menyapa kami dengan penuh senyuman dan menawarkan odong-odongnya
20ribu satu putaran. Kemudian kami menawar 25ribu untuk dua putaran
dan dia dengan senyuman yang tak hilang di wajahnya mengiyakan. Ya
ampun ibu ini baik sekali...
Tambahan pelayanan lainnya
dia tidak keberatan untuk menjepret kami yang ingin di foto bertiga
di odong-odongnya yang penuh cahaya.
Niat buruk kami bertiga
dapatkan teman-teman tebak?
Hal pertama yang terlintas
di kepala kami adalah melewati odong-odong lelaki tadi yang dengan
sombongnya membuat penawaran dengan kami. Berjalan dengan 'slow
motion' di dekatnya dan memamerkan kami mendapatkan odong-odong jauh
lebih murah dari yang dia tawarkan bahkan kami boleh singgah ke
tempat minum yang kami inginkan kalau mau. Soalnya ibu pemilik
odong-odong tidak melarang kami singgah-singgah di mana pun yang kami
inginkan. Beda sama penawaran sang laki-laki sebelumnya.
Awalnya kami hanya ingin
dua putaran tapi sepertinya menyenangkan berkeliling, teriak-teriak,
tertawa-tawa, dan berkeringat.
Jadilah kami berputar tiga
kali dengan harga 30ribu saja. Kapan-kapan kalau saya ke Jogja lagi
saya rasa saya akan mendatangi ibu yang sama untuk menyewa
odong-odong. Lelah? Pastinya. Jadilah kami segera menuju meja-meja
yang disusun di pinggir lapangan. Haus dan saya butuh minuman dingin.
Kami memilih meja di tengah menunggu minuman yang kami pesan datang.
Drama? Tentu saja ada.
Mia bertanya harga minuman
yang kami pesan pada pedagangnya.
"Cappucino berapa Bu?
Es susu?"
"Lima ribu, jadi?"
"Jadi kok, Bu. Saya
kan cuma bertanya."
Saya dan Elsa hanya bisa
tergelak. Wajah Mia yang lucu sekali ekspresinya. Kalimat dari ibu
yang berdagang minuman itu juga tak kalah lucu. Dia tidak tahu sih
saya biasanya membayar 10ribu untuk segelas Cappucinno Es di
Pontianak, bahkan banyak yang menjual di atas 10ribu.
Sambil minum kami meminta
grup pengamen yang necis dan membawa peralatan sangat lengkap
menghibur kami. Apalagi Mia melihat ada yang ganteng di antara
mereka. Seingat saya kami memesan 6 lagu. Ada 30 menit dia berada di
meja kami sebelum akhirnya pindah dan kami membayarnya 10ribu untuk 6
lagu yang mereka nyanyikan. Dan karena 'mereka tampan' juga sih. Loh!
Setelah minum dan saya
hampir kehabisan suara, kami bertiga pulang ke rumah Mia.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).