Tangan
keriput itu menyodorkan gelas kopi yang tadi ia hirup padaku.
Tanganku tak kalah keriput. Bahkan rambutku tak lagi berwarna gelap.
Putih di mana-mana. Senyumnya masih seindah pertama kali aku
melihatnya. Gelas kopi itu aku letakkan di atas meja. Kami duduk
bersebelahan di taman belakang yang dipenuhi rumput dan bunga-bunga.
Tempat kami menghabiskan senja berdua.
“Kalau
diberikan kesempatan untuk kembali pada hari itu, hari kamu
melamarku, apakah kamu akan benar-benar melamarku?” aku bertanya
pada Awan, sahabatku yang sekarang telah menjadi suamiku. Suami yang
sangat tua.
Tiga
puluh tahun berlalu begitu saja. Bagai sekejap mata. Bahagia dan duka
menjadi bagian pernikahan kami.
“Jangankan
diberikan kesempatan satu kali, berkali-kali pun kesempatan yang
Tuhan kasih, aku akan kembali ke hari itu. Hari aku melamarmu dan
melakukannya persis sama.”
“Tidak
ada perubahan yang lebih berarti atau kejutan lain?”
“Biarlah
seperti itu adanya.”
“Mengapa?”
“Karena
penerimaanmu jauh lebih indah dari apa pun yang pernah aku dapatkan
di dunia ini.”
“Kamu
tidak menyesal menikah denganku?”
“Tak
ada yang lebih indah dari kamu, Sya. Bahkan hari ini pun masih sama.
Kamu selalu lebih indah.”
Lagi-lagi
aku hanya bisa tersenyum malu. Sama seperti tiga puluh tahun lalu
saat aku menerima lamaran Awan di sebuah pusat perbelanjaan itu.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).