Baiklah,
saya masih saja menghabiskan sisa malam saya di Warung Kopi Winnie malam tadi. Saya
membuat catatan lagi seperti malam sebelumnya. Selamat membaca.
27
Februari 2012
Sekarang
saya berada di rute terbaru dalam kehidupan saya. Menjadi gadis nongkrong
warung kopi. Malam itu lagnit cerah. Tidak ada gerimis menusuk tulang seperti
malam sebelumnya. Saya mendapatkan meja di tengah. Malam ini saya mengajak
beberapa teman, lelaki tentunya, untuk join di meja saya. Tapi mereka belum
tiba. Entah akan menyusul atau tidak saya tidak benar-benar tahu karena saya
tidak begitu peduli mereka akan menemani saya atau tidak.
Warung
Kopi Winnie ini mengingatkan saya pada seseorang yang sangat saya kagumi. Pay Jarot
Sujarwo. Seorang penulis yang sangat produktif. Apa pun bisa dia tulis dan ramu
menjadi buku. Bahkan cerita konyolnya sebagai orang udik yang keliling Belanda
pun bisa menjadi buku dengan judul SEPOK. Saaya baru saja memesan buku ini. Belum
membaca tapi dari halaman facebook buku ini saya tahu ceritanya ditulis dalam
bahasa Melayu Pontianak. SEPOK bisa diartikan sebagai perilaku seseorang yang
kampungan, udik.
Semua bahasa
Pay yang cair dan mengalir apa adanya pasti merasukin setiap inci buku ini. Saya
teringat sebuah buku beliau yang sempat saya beli. Buku yang sangat lucu
judulnya KALAU LAPTOPKU TIDAK HILANG, MUNGKIN BUKU INI TIDAK AKAN TERBIT. Sesuai
juduulnya, buku ini memang terbit karena laptop Pay hilang. Semua karena keteledorannya
sendiri.
Malam naas
itu dia sedang mengedit naskah yang akan ia bukukan. Kemudian tertidur di ruang
tamu. Laptop menyala. Pintu depan terbuka. Besok paginya laptopnya telah
lenyap. Tapi bukan Pay namanya apabila tidak memanfaatkan momen untuk membuat
karya yang fenomenal. Akhirnya terbitlah bukunya dalam waktu singkat.
Saya? Beli
dong. Bahkan saya datang pas launching buku tersebut.
Balik lagi
ke cerita saya di warung kopi. Malam kedua ini sangat specsal. Saya bertemu
dengan mantan kekasih yang tidak disetujui orang tua saya sebagai pelabuhan
terakhir yang ingin saya pilih. Polki. Jika kalian membaca Merajut Jembatan
Pelangi, kalian akan sadar siapa dia. Tidak seperti kisah Kayra dan Polki yang
berakhir bahagia. Kisah saya dan “Polki” (Popeye) kandas di tengah jalan. Dia menikah
dihari ulang tahun saya yang ke-25. Kado yang sangat indah untuk perayaan ulang
tahun bukan?
Saat saya tanya: “Dari 365 hari yang ada di tahun 2011 tidak adakah hari yang lain selain
tanggal 26 Juni yang harus kamu pilih sebagai hari pernikahanmu?”
Beberapa
minggu yang lalu, saat saya galau tingkat dewi, ketika itu saya baru saja putus
dari kekasih saya yang terakhir, saya menghubunginya. Dialah orang pertama yang
terlintas di kepala saya. Saya curhat sesuka hati saya. Saya tumpahkan semua
kekesalan dalam hati saya. Ujung-ujungnya dia mengaku istrinya telah ‘isi
duluan’ saat mereka menikah. Dia tak punya banyak pilihan tanggal. Semuanya mendesak
dan harus dilangsungkan sesegera mungkin. Jadi 26 Juni adalah penyelamat
hubungan mereka. Setidaknya kekesalan saya di hari itu terobati sekarang. Saya ikhlas
harus merayakan ulang tahun berikutnya dan ingat di bagian Bumi yang lain, ada
yang merayakan pernikahannya.
Tulisan
kali ini saya menuliskannya terlebih dahulu dengan tangan. Saya merasa lebih
baik menulis dua kali. Menulis dengan tangan saya rasanya berimbang. Tidak ada
pikiran yang tertinggalkan.
Jika memang
ratusan malam pun yang saya habiskan di sini dan saya tidak menemukan apa yang
saya cari setidaknya saya bisa menerbitkan buku dengan judul ‘Catatan di Warung
Kopi Winnie’.
Balik lagi
ke Pay, dia juga pernah menceritakan warkop ini dalam monolog yang dia buat dan
pentaskan di Pusat Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat beberapa tahun yang
lalu. Satu kata untuk monolog Pay, KEREN.
Dua orang
yang saya tunggu tak ada kabarnya. Saya sedikit mengantuk. Apabila orang minum
kopi untuk menghilangkan ngantuk maka kopi ini tidak ada pengaruhnya pada
stamina saya. Mengantuk akan tetap mengantuk walaupun saya meminum segelas
besar kopi hitam ini.
Saat saya
menuliskan ini, seseorang menyapa saya. Belum, bukan, dia tidak mengajak saya
berkenalan. Dia hanya bertanya tentang kursi kosong di sekitar meja saya. Dia Tanya
apakah kursi itu ada pemiliknya? Saya ternyata masih Hani yang pemalu itu. Saya
menjawab pertanyaannya dengan gelengan kepala sebagai tanda ‘kursi itu memang
tidak ada pemiliknya’. Pertanyaan berikutnya yang dia ajukan adalah apakah dia
boleh meminjamnya? Saya ingin mengatakan ‘tentu saja’, tapi saya hanya bisa
mengangguk kecil. Tidak butuh satu menit, interaksi kami berdua berakhir. Tak ada
tukaran nomor hape apalagi Tanya-tanya nama. Tentu saja hal terakhir itu tidak
terjadi. Bagaimana mungkin?
Yah,
setidaknya ada hal baru yang terjadi hari ini. Selain itu orang-orang yang ada
di sini berbeda dari yang kemarin. Meskipun tidak menutup kemungkinan ada yang
datang lagi seperti saya.
Sebelum
ke sini sebenarnya saya ke Mega Mall Ayani. Menyebar katalog Oriflame edisi Maret.
Saya tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang mangkir untuk membayar
hutangnya. Saya yakin dia berusaha sangat keras untuk menghindari saya. Tapi Pontianak
entah mengapa terasa kecil untuk orang seperti dia. Selalu saja bertemu tak sengaja
dengan saya. Lucu, iya.
Malam ini
saya pesan dua potong pisang goreng srikaya. Saya lapar. Itu saja. Di warkop
ini tidak ada nasi dan makanan jenis berat lainnya, jadi mau tidak mau pisang
goreng pengganjal perut saya. Kopi segelas, masih cukuplah untuk saya.
Di sini
saya tahu, saya terlihat aneh karena minum kopi hitam. Namun, di tempat saya
dibesarkan minum kopi adalah hal yang sangat umum dilakukan semua orang,
termasuk anak-anak bahkan perempuan. Oh, mata saya sedemikian beratnya ternyata.
Saya mengantuk, teramat mengantuk. Sebelum pulang saya harus menghabiskan semua
yang sudah saya pesan bukan? Saying apabila harus dibuang. Bayarnya kan pakai
uang bukan dedaunan.
Demikian
tulisan saya di Warung Kopi Winnie malam tadi. Senang bisa berbagi.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).