Raza,
anak sulung saya, usianya 4 tahunan dan sudah disunat atau dikhitan.
Saya yang mendaftarkannya di sunatan massal. Acaranya di lokasi
Gedung Kantor Gubernur. Waktu saya memegangi tangannya banyak yang
melirik karena dia masih kecil. Kebanyakan yang ikut sunatan massal
memang sudah sekolah SD. Hanya beberapa yang terlihat di bawah usia 6
tahun. Saya pikir tak ada bedanya dia sunat sekarang atau nanti.
Apalagi
mengingat waktu bayi, dokter anak malah menyarankan untuk segera
mengkhitan Raza, demi kesehatan. Tak perlulah saya ceritakan
detailnya ya. Waktu itu dia baru usia beberapa minggu. Saya waktu itu
juga mengiyakan sementara suami dan seluruh keluarga besar mengatakan
‘TIDAK’. Kayak mengindikasikan saya ibu yang tega banget sama
anak karena mau menyunatnya disaat masih merah.
Satu
hal yang saya tahu adalah banyak yang dikhitan saat masih bayi. Tak
ada yang salah dengan itu bukan? Itu yang saya tahu, tapi ada yang
tidak saya tahu.
Mengenai
after effect sunat
gengs. Itu saya benar-benar tidak tahu. Sebab saat 2 adik laki-laki
saya disunat saya tidak ada di rumah. Saya di Pontianak. Tak memahami
bahwa habis disunat itu yang repot. Merawat lukanya. Merawat perban.
Belum lagi saat obat penghilang rasa sakit hilang dan sakitnya bekas
disunat itu nyeri. Itu yang membuat saya terlihat seperti seorang ibu
yang tega membawa anaknya sunatan massal.
Anyway,
sudah terlambat untuk menyesal sih. Raza sudah disunat dan untungnya
dia hanya menangis 2 jam setelah pulang sunatan. Malamnya sudah oke.
Besoknya aman. Hari ketiga malah dia sudah ingin main bola. Saat
tulisan ini diterbitkan, Raza sudah benar-benar sembuh dari luka
sunatnya. Sudah sekolah TK juga. Saya bayangkan seandainya saya tahu
bahwa habis sunat itu sakitnya membuat menggelinjang mungkin saya
tidak tega. Namun karena sudah terjadi, sudah selesai baru saya tahu,
ya pas membawanya sunat saya malah merasa saya melakukan hal yang
harus dilakukan sebagai orang tua.
Jadi
sebaiknya sunatnya kapan? Sebaiknya memang saat masih kecil sih, saat
dia tak paham arti sunat, sebab repot ceritanya kalau dia tahu dan
kabur dari lokasi sunat. Terdengar tega kan? Masalahnya adalah khitan
tetap harus dihadapi sampai benar-benar dilakukan. Tak ada pilihan
boleh tidak khitan. Mau bayi,
mau usia TK, mau usia SD, ya sama saja judulnya, dikhitan. Siapin
mental biar tega. Bukan tega sih sebenarnya. Nanti yang menyunatnya
juga tenaga medis, jadi yang penting orang tua punya waktu luang
paling tidak 3-4 hari untuk mengurus after effect
sunat tersebut.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).