Bekerja
di balik layar sebuah radio swasta yang ada di Pontianak rasanya
memang sudah menjadi jalan hidup yang harus saya jalani. Sudah
berlalu 4 tahun sejak pertama kali saya menjejakkan kaki di gedung
tersebut sebagai seorang penyiar. Diterima tanpa ikut persaingan
seperti di audisi. Memang sudah jalannya. Impian saya yang terpatri
belasan tahun yang lalu. Saat saya masih duduk di bangku SD pun saya
sudah sering membayangkan menjadi penyiar radio walaupun tak pernah
sekalipun saya tahu bagaimana caranya. Di Jawai tak ada radio yang
berdiri. Di pedasaan yang bahkan listrik menjadi barang yang sangat
mewah. Bertahun-tahun kami menikmati cahaya lampu minyak yang akan
membuat hidung kami, anak-anak SD yang belajar hingga malam, penuh
dengan salang. Menghitamlah
lubang hidung kami pagi harinya karena menghirup asap dari lampu
minyak tanah tersebut.
Mimpi
untuk menjadi penyiar radio tak pernah saya kubur. Saya pupuk dalam
hati. Saya simpan dalam-dalam dan berharap suatu hari nanti, suatu
hari yang entah kapan, akan benar-benar menjadi nyata.
Semakin
bertambahnya usia, semakin banyak potongan kehidupan yang menyatu
dengan potongan lama hidup saya. Hingga hari ini ada potongan baru
lagi yang membentuk gambar yang sangat jelas. Dulu saya sering
bertanya-tanya, megapa saya harus lulus di FKIP Bahasa Indonesia
padahal impian saya adalah menjadi orang yang bisa kuliah di jurusan
bahasa Inggris. Lalu alih-alih menjadi guru saya malah melepas
pekerjaan saya sebagai seorang guru bimbel dan memilih untuk menjadi
seorang penyiar radio. Tak peduli berapa pun gajinya.
Ternyata
kalimat 'semua akan indah pada waktunya' itu benar adanya. Lagi-lagi
ada keindahan yang menjadi rahasia Allah dan sekarang tersibak sudah.
Sebab untuk meguasai bahasa Inggris dengan baik kita harus memiliki
kemampuan bahasa Indonesia yang lebih baik. Itu alasannya mengapa
saya tidak diluluskan Allah pada jurusan bahasa Inggris di FKIP,
melainkan lulus di bahasa Indonesia. Dia ingin sampai saat itu tiba,
saat saya benar-benar belajar bahasa Inggris, saya bisa menguasainya
dengan baik dengan bekal bahasa Indonesia yang sama baiknya. Lalu
mengapa saya harus lulus sebagai penyiar di Radio Volare? Itu juga
rahasia yang sekarang tersingkap sedikit, sebab saya tahu Allah masih
punya banyak rahasia indah yang akan Dia bagi ketika waktunya sudah
tiba nanti.
Setelah
4 tahun belajar banyak hal di Radio Volare ternyata saya menyadari
bahwa bekal yang saya dapatkan selama 4 tahun itu sangat banyak.
Kemampuan berbicara yang sangat penting untuk kuliah di ABA, kemauan
untuk terus belajar yang tak pernah padam, dan satu hal sederhana
yaitu mengedit suara. Saya yakin di kelas ABA hanya saya yang
bertahun-tahun belajar merekam suara dan mengeditnya. Mencampurnya
dengan suara yang lain. Bahkan memotong-motong lagu yang sudah jadi
untuk dijadikan satu-kesatuan di dalam sebuah rekaman. Saya belajar
itu di samping saya juga bersiaran.
Ilmu
merekam dan mengedit suara itu ternyata sekarang saya butuhkan untuk
tugas kuliah saya di ABA. Bahkan perjumpaan saya dengan Chan tahun
2013 lalu adalah cara Allah membentuk saya menjadi mahasiswa ABA yang
siap menghadapi tugas-tugas yang menakjubkan. Membuat presentasi yang
bagus, menguasai materi dengan baik, dan banyak hal yang rasanya
tidak pernah saya capai di FKIP Bahasa Indonesia. Selama menjadi
mahasiswa bahasa Indonesia saya memang bukan mahasiswi yang menonjol
dan bisa membuat teman-teman saya kagum. Saya biasa-biasa saja dengan
hobi menulis saya.