Saya
tak begitu dekat dengan Abah. Saya jarang bercakap-cakap dengannya.
Tak banyak kenangan dengannya. Tapi kalau ada kenangan bersamanya,
saya pasti akan sangat mengingatnya. Saya ingat dengan jelas kalau
dia tak pernah memukul saya. Dia pernah marah tapi jarang sih. Dari
banyak laki-laki di dunia ini, dia adalah laki-laki yang dulu rajin
menyampul buku pelajaran saya waktu sekolah. Menggunakan koran bekas
yang tidak dia jadikan kliping. Semua buku akan disampulnya dengan
rapi.
Dia
tak banyak bicara dengan saya walaupun sebenarnya Abah itu sangat
ramah dan banyak bicara dengan orang lain.
Topik
pembicaraan yang dia omongin memang kadang hal yang tak saya mengerti
sih, jadi akan sangat tak nyambung kalau dia mengajak saya mengobrol.
Dia bukan seperti orang tua pada umumnya yang dengan bangga disebut
anak perempuan dengan kalimat 'He always be there for me'. Abah itu
lebih pada 'He give me chance to stand alone for myself'. Dia percaya
dengan anak perempuannya merantau sendirian. Bahkan saat akan
menikah. Dia tak banyak menanyakan tentang laki-laki yang meminang
saya itu. Dia menerimanya. Tanpa banyak cingcong.
Abah
adalah laki-laki yang selalu memotong kuku tangan dan kaki saya
dengan rapi saat masih kecil sampai SMP. Dia akan menyuruh saya duduk
di lantai dengan isyaratnya. Ketika mata saya menatap poetong kuku di
tangan kanannya saya tahu dia bermaksud memotong semua kuku saya. Dia
tak pernah mengajarkan bahwa saya harus berkuku pendek. Tapi dia
memotongnya dengan sabar satu demi satu.
Dia
juga tak pernah merayakan ulang tahun saya. Tapi ketika saya akan
menikah. Dia adalah orang yang ada di sana menangis dan menasihati
saya. Dia bukanlah ayah yang sempurna. Dia hanya seorang ayah
terkeren yang bisa saya punya. Tak ada gantinya.