Takbir mengingatkanku tentang banyak hal. Tentang malam yang terang dan orang yang berkeliling kampung. Kita berdiri di teras menunggu anak pembawa kotak infaq dan obor minyak tanah. Uang seribuan sudah di tangan. Bersemangat sekali kita waktu itu memasukkan uang ke kotak kayu tersebut.
Takbir mengingatkanku tentang kue-kue lapis harum Uwan dan satu di antaranya yang paling dirimu suka Lapis Hongkong. Bersantan. Pake telor bebek. Mengingatkanku tentang dirimu yang tak bisa makan telor ayam karena asmamu bisa kambuh karenanya.
Takbir mengingatkanku tentang harum tubuhmu yang bercampur dengan minyak angin yang selalu kau oleskan ke kepala dan tengkukmu.
Takbir mengingatkanku tentang Mak Ning yang datang dari Pontianak. Baju-baju baru, tiap keponakan dapat sepasang.
Takbir juga mengingatkanku tentang malam kita yang lebih banyak diisi dengan lampu minyak tanah karena listrik belum sampai ke desa kita. Setelah masuk pun masih ada pemadaman bergilir.
Takbir mengingatkanku tentang banyak hal.
Sekarang setiap takbir tak lagi sama rasanya. Tak lagi kuhirup aroma embun pagi seperti lebaran semasa di kampung bersamamu. Hanya bisa kubayangkan nisanmu dari sini.
Takbir paling mengingatkanku padamu, Aki.