Berikut adalah cerpen yang saya tulis untuk mengikuti lomba Tulis Nusantara 2013 kategori cerpen fiksi dan meraih Juara 1.

Mungkin kamu itu
seperti Pulau Simping.
Tak ada yang tahu
apa alasan Tuhan meletakkannya di Singkawang, Kalimantan Barat.
Padahal masih
banyak tempat lain di dunia ini yang bisa Dia pilih.
Begitu juga
denganmu, tak ada yang tahu apa alasan Tuhan mempertemukanmu denganku
padahal di dunia ini ada milyaran manusia.
Mengapa harus aku
yang bertemu denganmu?
Aku tak bisa
menyalahkan hati yang jatuh cinta. Karena hati memang sepertinya
diciptakan untuk merasakan rasa yang satu itu. Paling menyebalkan
sebenarnya bukan jatuh cintanya. Tapi cinta yang tak kunjung
berbalas. Cinta bagiku ya menikah. Terlalu kolot mungkin buat
sebagian orang yang sudah berkeliling Eropa. Sepertimu. Kamu bilang
cinta ya saling mencintai. Tak perlu ikatan apa pun. Aku duduk di
pinggir gertak Sungai Kapuas. Menatap langit sore yang belum
memerah. Namun sekarang ini bukan hanya masalah aku yang ngotot ingin
menikah. Aku lelah dengan hinaan orang-orang di sekitarku. Mereka
terus saja memanggilku anak dare tue. Sapaan untuk perawan tua
yang tak kunjung menikah.
“Jangan
dengarkan...” kamu duduk di sampingku.
Kali ini aku tak
membiarkan kamu meremas tanganku seperti dulu. Langit masih terlalu
terang hanya untuk sekadar berpegangan tangan. Meriam karbit yang
tersusun di pinggiran gertak menyaksikan wajahmu yang tetap
seperti pertama kali aku mengatakan ingin menikah denganmu.
Menanyakan kapan kamu akan menikahiku rasanya sudah cukup memalukan.
Tetapi tetap lebih memalukan lagi panggilan orang di sekitarku. Anak
dare tue.
“Jadi?”
Aku mengangkat
alisku. Menandakan bahwa aku butuh jawaban. Jangan biarkan aku
menerima panggilan yang sama terus-menerus. Memang mereka tak
menyebutkannya di depan wajahku. Tapi aku tetap bisa mendengar mereka
menyebutku demikian. Anak dare tue.
“Maumu?”
Seseorang melintas
di depan kami dengan perahunya yang ramping. Perahu yang digunakan
orang untuk menyeberang. Tak lagi menarik minatku. Aku hanya ingin
duduk di sini dan mendengar jawaban darimu.
“Bagaimana?”
Rasanya aku bisa
mendengar orang yang mengayuh perahu itu memanggilku dengan panggilan
anak dare tue. Kamu menggenggam tanganmu sendiri. Mudah memang
bagimu untuk tidak menikah dan meneruskan hidupmu seperti yang kamu
inginkan. Kamu bukan perempuan. Perempuan Melayu sepertiku. Bukan hal
yang mudah bagiku untuk terus berada dalam hubungan yang tak ada
status resmi seperti ini. Bukan hanya orang-orang yang memanggilku
dengan sebutan anak dare tue. Sekarang kadang-kadang orang
tuaku sendiri pun keceplosan memanggilku demikian.
“Aku tak keberatan
disebut Bujang Lapok.” Kamu mengatakannya dengan mimik yang
lucu.
Aku tahu kamu
berusaha menghiburku yang menatap ke arah Sungai Kapuas. Tenang aku
tak akan terjun hanya karena panggilan seperti itu. Aku hanya merasa
harga diriku diinjak-injak oleh banyak orang dengan dipanggil anak
dare tue. Mereka seakan-akan mengatakan kalau diriku tak laku.
Tak ada yang mau menjadikanku istri. Bukankah cinta harus saling
memiliki? Saling melengkapi di dalam pernikahan? Bukankah kita harus
menikah?
“Terus?”
“Terus...”
Kita diam lagi. Aku
sendiri berusaha menahan emosi yang membuncah di dalam dadaku. Sebab
aku marah hanya akan membuat puasaku tak bernilai lagi. Bulan
Ramadhan hampir berakhir dan itu berarti lebaran Idul Fitri semakin
dekat. Akan semakin dekat pula dengan lebaran Idul Adha. Kamu sendiri
pasti tahu benar orang banyak yang melangsungkan pernikahan saat
lebaran Idul Adha. Lebaran Haji. Aku berharap tahun ini akulah yang
menjadi pengantin dan melepas masa lajangnya.
“Anak dare
tue?”
“Aku lelah.”
“Lantas
bagaimana?”
“Aku belum siap
menikah.”
“Bagaimana
denganku?”
“Aku lebih tak
siap lagi menikah dengan perempuan yang hanya ingin menghilangkan
status anak dare tue dari dirinya.”
“Kamu
mencintaiku?”
“Cinta.”
“Menikahlah
denganku.”
“Tak semudah itu,
kamu perempuan, menikah bukan hal yang rumit buat kalian.”
“Berarti kamu siap
kehilanganku?”
“Bukan itu juga
sih.”
Jawabanmu
mengambang. Seperti sampah yang terus memenuhi Sungai Kapuas.
Mengambang tanpa arah yang pasti. Karena mereka jatuh di tempat yang
salah. Awan-awan membeku di langit. Sepertinya akan turun hujan. Tapi
kita tak bergerak dari sini. Aku masih butuh jawaban yang pasti.
Bukan meminta penangguhan waktu atau siap menunggu kepastian yang
lainnya.
“Jangan minta
waktu.”
“Jadi?”
“Jadi...”
Tak menemukan titik
temu. Tapi mengapa kita saling jatuh cinta. Mengapa kamu menemukanku
di sana. Di acara Gawai Dayak di rumah adat dayak, Rumah Betang, dua
tahun lalu. Kita bertabrakan begitu saja. Sama-sama membuat cincin
dengan nama masing-masing. Lalu cincin yang sudah aku bayar tertukar
dengan cincin yang dia pegang. Sekarang cincin yang tertukar itu
menggantung di leherku. Terikat di rantai kalung yang aku kenakan.
“Aku cinta kamu.”
“Aku tahu itu.”
“Apa kamu
benar-benar mencintaiku?”
“Kalau beranggapan
cinta harus diikat dalam pernikahan aku bingung menjawabnya.”
Persepsi kita memang
berbeda, itu yang tak hatiku sadari sejak pertama. Bahwa bagiku
dicintai sama saja dengan dinikahi. Apakah aku memang akan menikah
denganmu karena aku benar-benar mencintaimu atau hanya karena ingin
melepas status anak dare tue yang selama beberapa tahun ini
melekat padaku? Aku sendiri tak menemukan jawabannya.
“Kenapa kamu mau
menjadi kekasihku tapi tak mau menikah denganku?”
“Entahlah.”
“Entahlah?”
Sungai Kapuas yang
tenang membuatku menarik napas panjang. Ada rasa geram pada diri
sendiri. Seharusnya aku tak jatuh cinta padanya. Ada yang keliru
dengan hubungan ini. Hubungan yang bertahun-tahun berlayar tanpa
tujuan yang pasti. Nakhodanya tak menemukan pelabuhan yang tepat dan
kapalnya sudah terlalu lama berlayar.
“Setiap orang
hadir dalam kehidupan kita bukan tanpa alasan. Terkadang alasannya
yang berbeda dengan yang kita kira.”
Aku mendengarkan
ucapanmu. Mencoba melupakan sejenak panggilan tak menyenangkan yang
selama ini aku dengar sebagai gelarku. Rasanya tatapan orang yang
mengenalku pun memberikan tatapan yang sama. Tatapan yang diarahkan
pada perempuan yang sepantasnya dipanggil anak dare tue. Aku
tak ingin terus berada di posisi yang sama. Sudah dua tahun hubungan
ini kita jalani. Bukankah orang berpacaran untuk kemudian menikah.
Lalu punya anak. Lama-lama diberikan cucu.
“Ada orang yang
hadir dalam hidup kita untuk lewat begitu saja. Ada pula yang hadir
sebagai orang yang meninggalkan kenangan yang mendalam. Kemudian tak
jarang ada yang datang dan tinggal untuk selamanya dalam kehidupan
kita. Seperti orang tua kita. mereka hadir dalam kehidupan kita untuk
menjadi orang tua kita.”
Aku tercenung
memikirkan maksud dari kalimat yang kamu ungkapkan. Akan ke mana
arahnya?
“Kamu?”
“Aku?”
“Iya kamu, kamu
datang sebagai orang yang mana?”
“Seharusnya kamu
lebih tahu itu.”
“Kadang perempuan
memang tahu, tapi mereka lebih suka mendengarkan penjelasannya secara
langsung.”
Kamu menarik napas
panjang. Kalau bisa aku bertukar posisi denganmu. Untuk memperjelas
tidak enaknya dipanggil anak dare tue. Kamu akan mengerti
bagaimana rasanya. Ingin kutunjukkan bagian yang terluka karena
dipanggil seperti itu. Bahkan oleh orang tuaku sendiri. Seenaknya
memang mereka membuat panggilan yang membuat kupingku panas. Setiap
kali bertemu keluarga pertanyaan yang paling tak menyenangkan hadir
untuk menyidangku. Seakan-akan ada yang salah dengan apa yang aku
jalani sekarang. Belum menikah? Jawabanku tentu saja belum. Apa ada
yang keliru tentang itu? Aku tidak mengatakan tak akan menikah. Tentu
saja aku ingin menikah. Punya keluarga dan punya anak yang lucu-lucu.
Siapa yang tak ingin seperti itu?
“Aku tak ingin
menjawabnya.”
Kemudian aku menutup
mulutku sendiri mendengar ucapanmu. Kamu tak ingin memperjelas
semuanya? Tak ingin mengatakan bahwa hubungan kita akan segera
berakhir karena kamu tak siap menikah denganku dan aku sendiri terus
mendesakmu. Aku lelah. Hanya lelah. Kalau bisa aku ingin kembali ke
masa lalu dan menemukan seseorang yang lain. Sebelum mendapatkan
panggilan anak dare tue yang menyebalkan itu.
“Jadi?”
“Jadi...”
Kita kebingungan.
Aku tahu. Pernikahan bukan hal yang sesederhana mengucapkan akad
nikah dan semuanya selesai. Ini masalah menentukan masa depan, masa
tua, dan kebahagiaan kita. Kita tentu tak ingin salah pilih.
“Jadikah?”
“Jadikan saja...”
Aku menggenggam
cincin yang menjadi mata kalungku. Kemudian bangkit meninggalkanmu
yang masih duduk di pinggiran gertak. Jembatan kayu belian
yang menjadi jalan bagi orang-orang sekitar sini. Aku melangkahkan
kakiku dan tak ingin menoleh ke belakang. Aku takut saat melihat ke
belakang aku tak menemukanmu lagi. Karena kamu lebih yakin untuk
pergi. Tapi aku juga jauh lebih takut lagi saat menoleh ke belakang
dan melihatmu menatapku pergi dengan wajah yang sendu. Aku pasti tak
sanggup meninggalkanmu.
Awan-awan di langit
terlihat sedikit merah. Tapi aku yakin mataku jauh lebih merah
dibandingkan langit sore yang sekarang kamu tatap dengan mata
elangmu. Kamu tak mengejarku. Aku juga tak ingin memanggilmu dan
memintamu untuk menahan langkahku yang semakin menjauh. Bukankah kamu
selalu bilang padaku bahwa semua yang sudah lewat tak perlu disesali.
Jadi seharusnya aku juga tak perlu menyesali pernah jatuh hati
padamu.
Sungai Kapuas
terlihat sendu. Air mataku tak kunjung berhenti mengalir. Mungkin
kamu benar mengenai satu hal. Bahwa aku tak perlu peduli dengan
omongan orang yang menyebutku sebagai anak dare tue. Ada awal
pasti ada akhir. Tetapi buatku yang namanya saling mencintai harus
saling memiliki. Kita akan saling memiliki jika sudah menikah.
Beberapa anak
melewatiku sambil menyebutkan panggilan yang sangat tidak aku
inginkan.
“Anak dare
tue!”
Bibirku bergetar
ingin memaki mereka kembali. Tapi lidahku kelu.
“Jadi?”
Tiba-tiba kamu sudah
berada di sebelahku. Kali ini aku tak merasakan genggaman tanganmu.
Sebab kamu memasukkannya ke saku celanamu. Aku sendiri menyimpan
tanganku di dada. Menutup lubang yang tiba-tiba menganga di dalam
hatiku sendiri.
“Aku tak tahu.”
“Aku juga.”
Kamu mendesah
perlahan. Aku hanya bisa menarik napas panjang.
“Kalau aku yang
memanggilmu anak dare tue?”
Kamu menghapus air
mata yang terus jatuh di pipiku.
“Menikahlah
denganku.”
Untuk kesekian
kalinya aku yang lebih dulu meminta.
“Untuk?”
Aku tak kuasa lagi
menjawab pertanyaan apa-apa. Hanya bisa mengangkat bahuku. Sebab aku
tahu jawaban apa pun tak akan membuatmu luluh.
“Anak dare
tue.”
Kamu menyebut
panggilan itu dengan suara pelan. Lalu tersenyum. Membuatku ikut
tersenyum. Tak kuasa menahan tawa pada akhirnya.
“Terasa lucu
memang jika yang menyebutnya adalah orang yang kamu sayang.”
“Siapa bilang aku
sayang sama laki-laki sepertimu?”
“Kalau tidak kamu
tak akan memaksa untuk menikah denganku.”
“Jadi apa
jawabanmu?”
Kamu hanya tersenyum
setelah tanganmu menemukan tanganku. Menggenggamnya erat. Seerat saat
aku mengatakan aku juga mencintaimu.
Follow @honeylizious