Menulis
fiksi sebenarnya gampang. Satu hal yang paling sulit adalah menemukan
lagu yang tepat atau menemukan deadline yang membuat kita harus
segera menyelesaikannya. Atau menulis bagai air yang mengalir dari
gunung ke bawah. Ngalir deras bagai air terjun. Sewaktu dulu saya
memang hanya menulis fiksi. Beda dengan sekarang yang sudah banyak
menulis postingan bukan fiksi buat blog. Namanya juga sudah beda visi
dan misi ya. Apalagi blog ini adalah harta warisan yang akan saya
tinggalkan buat keluarga saya nantinya. Sebagai kenang-kenanga.
Kalau
dulu menulis masih menggunakan buku tulis dan pulpen yang kadang
gampang sekali buat macet. Sekarang sih enak ya menulis pake PC. Tak
perlu tipe-x apalagi corat-coret kertas. Tak akan ada lagi pulpen
yang macet.
Setelah
ngeblog sekian lama, akhirnya saya sadar bahwa lebih gampang
menuliskan sesuatu yang memang terjadi di dalam kehidupan kita
dibandingkan menuliskan imajinasi kita. Walaupun kadang ada emosi
yang membuncah di dalam setiap fiksi yang menghidupkannya kemudian
membuatnya selesai. Mengingat beberapa cerbung yang memang mudah
sekali saya selesaikan. Ada juga yang mandek hingga sekarang. Egois
memang, saya mendahulukan tulisan komersil atau bahan renungan buat
diri sendiri dibandingkan melanjutkan fiksi yang bukan untuk
diperlombakan.
Beda
cerita saat saya sedang mengikuti sebuah lomba yang deadlinenya
mepet. Biasanya ide mengalir dengan sangat deras sampai jemari saya
kesulitan mengikuti kecepatan imajinasi tersebut. Kalau sudah begitu
saya lebih suka mengambil kertas dan melanjutkan imajinasinya
menggunakan pulpen. Sebab mengetik saya tak selancar menulis cakar
ayam di kertas.
Bisa
jadi juga kadang ada lagu yang membuat saya lancar menuangkan ide
dalam bentuk tulisan. Inilah yang harus saya pahami tentang diri saya
untuk menulis fiksi menggunakan lagu yang benar. Lagu yang bisa
menggali imajinasi tersebut lebih dalam lagi. Sehingga ceritanya
menjadi utuh dan berakhir. Sayang kalau ceritanya hanya menggantung
bukan?