Saya
sudah nonton Trilogi Linimassa beberapa hari yang lalu. Tepatnya 1
Februari 2014 bersama teman-teman blogger Pontianak. Apa sih Trilogi
Linimassa itu? Jadi Trilogi Linimassa ini sebenarnya menceritakan
tentang pemanfaatan media sosial untuk mencetuskan dan/atau melandasi
gerakan sosial di Indonesia pada kurun waktu 2011 hingga 2013.
Gerakan sosial tersebut misalnya berkaitan dengan isu disabilitas,
perdamaian, kemanusiaan, lingkungan, UKM dan HAM. Adapun lokasi
kisahnya beragam, dari Aceh, Bengkulu, Jakarta, Tasikmalaya, Jogja,
Pati, Solo, Samarinda, Poso, Lombok, Ende dan Ambon.
Saya
acungi jempol buat teman-teman yang berada di balik layar untuk
membuat film dokumenter ini. Sejak kecil saya memang suka sekali
menonton film dokumenter. Sebab isinya adalah kenyataan. Bukan
sesuatu yang dibuat-buat supaya ada. Bukan seperti sinetron. Eh kok
malah nyasar ke sinetron ya?
![]() |
Nobar di Lamongan foto oleh Gelandangan Berdasi. |
Setelah
menonton Trilogi Linimassa saya menyadari satu pesan yang ingin
disampaikan oleh semua film itu. Supaya kita berani berusaha.
Barangkali selama ini kita terlalu percaya dengan pemerintah. Terlalu
sabar menanti perubahan yang akan dibuat oleh pemerintah padahal
hasilnya nihil. Berapa banyak yang hal yang tak sepatutnya terjadi
malah sekarang sudah menjadi hal yang biasa kita lihat sehari-hari?
Tak lagi aneh di mata kita.
![]() |
Nobar di Samarinda, foto oleh Kakaakin. |
Dari
film Trilogi Linimassa ini saya sadar bahwa sudah cukup semua
penantian kita. Saatnya kita untuk melakukan perubahan itu
bersama-sama. Sebagai manusia yang sama-sama hidup di bumi. Sebab
kalau kita tidak bergerak siapa lagi yang akan bergerak? Sampai kapan
kita hanya menjadi penonton dan bukannya pemain? Pejabat biarkan
bersuara biar rakyat saja yang berusaha.
Selain
menonton Trilogi Linimassa sebenarnya ada juga film dokumenter yang
lain yaitu Terpenjara di Udara. Film dokumenter ini pun cukup
menggelitik sebenarnya. Seberapa lama sudah kita dibutakan oleh media
yang menggunakan jaringan publik untuk mengisi pundi-pundi mereka
sendiri? Memperkaya diri mereka tanpa memikirkan siapa yang lebih
berhak menggunakan jaringan publik yang tersedia tersebut? Lalu
berapa banyak radio komunitas di negara kita yang tercinta ini yang
pelan-pelan 'mati' karena tak sanggup mengikuti birokrasi dan harus
bersaing dengan media komersil yang tentunya lebih banyak uangnya.
Beranilah
berusaha. Pesan itu yang saya dapatkan dari Trilogi Linimassa ini dan
juga 'Terperangkap di Udara'. Terima kasih untuk teman-teman yang
sudah menghadirkan sedemikian nyata rupa-rupa di Indonesia.