“Aku
pikir kamu akan selalu mencintaiku.”
Kamu
menatapku dengan tatapan penuh amarah. Aku ingin marah tapi terlalu
lelah dengan semua keadaan yang harus aku hadapi. Melihat wajah tua
ibuku, ayahku. Wajah mereka terus terbayang di benakku. Sekarang kamu
ingin marah padaku?
“Aku
selalu mencintaimu, Nick. Tapi bukan berarti aku harus terus
menunggumu. Orang tuaku butuh aku. Mereka ingin aku menikah.
Satu-satunya permintaan yang belum aku tunaikan.”
“Kamu
pernah menunggu lima tahun, Elana.”
Nada
suaramu meninggi. Aku tahu laki-laki mana pun tak suka didesak.
Begitu pula denganmu. Aku tak pernah mendesakmu lima tahun ini.
Meskipun aku sering bertanya kapan kita akan menikah. Bukan hal baru
lagi jika sekarang aku juga bertanya kepastiannya.
“Aku
sudah menunggu lima tahun, Nick.”
“Tunggulah
sebentar lagi.”
“Aku
sudah 32 tahun, kamu bahkan sudah 38 tahun. Bukankah kita sudah
terlalu lama membiarkan diri kita tanpa ikatan pernikahan?”
“Kalau
aku tak menikahimu minggu depan kamu akan menikah dengan siapa?”
“Aku
belum memikirkan itu karena aku pikir kamu tak akan meninggalkanku.
Kamu akan menikahku kan? Aku selalu percaya itu. Lima tahun aku
percaya dan tak ada salahnya untuk percaya terus sampai minggu
depan.”
Kamu
mendengus. Geram. Aku membuang muka ke jendela. Muak dengan semua
ini. Kamu selalu ingin menang. Tak ingin mengalah sekali pun.