Agustus
lalu, baru beberapa bulan berlalu. Tepatnya 28 Agustus 2013. Tak
pernah terlintas sedikit pun akan menemukan sang tambatan hati. Dari
WeChat kami berkenalan. Lalu tiga hari bertemu meyakinkan dirinya
untuk melamar dan ternyata saya menerima begitu saja. Kalau ingat
beberapa bulan, bahkan lebih dari setahun sebelumnya yang sudah lewat
di belakang, jangankan mengenal, kami bahkan masih meyakini orang
lain yang akhirnya akan menjadi jodoh kami.
Dia
masih dengan perempuan yang lain yang akhirnya meninggalkannya. Saya
sendiri? Masih dengan laki-laki yang sama yang saya tanya hampir
setiap hari dengan pertanyaan paling membosankan sedunia, setidaknya
untuknya. Kapan Bang kita akan menikah?
Jawabannya hanya sebuah senyuman tipis yang tak bisa saya maknai
dengan utuh. Apa sebenarnya yang dia inginkan dari hubungan seperti
itu. Bertemu setiap hari. Makan siang dan malam di luar bersama.
Bercerita tentang banyak hal dan sudah lebih dari setahun tak ada
jawaban mengenai kapan-Bang-kita-akan-menikah?
Perempuan
tidak semuanya menggunakan perasaan. Saya tak terlalu menggunakan
perasaan dalam berhubungan ketika saya sadari bahwa nikah itu ibadah.
Ibadah. Pembuktian cinta kita kepada Allah. Kalau tak kunjung menjadi
kenyataan dengan orang yang kita sayang tetapi muncul orang lain yang
mau menjadikannya nyata, saya pikir langkah terbaik saya memang
menerima. Banyak yang meragukan bahwa pernikahan kami akan baik-baik
saja.
Bukankah
memang tak akan ada sepasang manusia berlainan jenis yang akan
benar-benar cocok di dunia ini? Seiring berjalannya waktu saya rasa
saya bisa belajar untuk mengompromikan banyak hal dengan seseorang
yang akan menikahi saya. Menikah dengan si
kapan-bang-kita-akan-menikah
atau dengan si
hey-kita-kenal-lewat-wechat-dan-baru-tiga-hari-kenalan-di-dunia-nyata-menikah-yuk
ujung-ujungnya pun saya tetap
akan belajar untuk menyesuaikan dengan laki-laki yang menjadi imam
saya tersebut. Sama saja kan? Bedanya ada satu yang lebih siap untuk
nekad menikah dengan saya dan ada satu lagi yang terus-menerus hanya
menyunggingkan senyuman di bibirnya.
Pertanyaan
yang paling saya ingat hingga sekarang adalah kamu yakin
mau menikah dengannnya?
Saya
tetap menjawab yakin kok. Bahkan hingga hari ini, saya mensyukuri
semua berkah yang ada di dalam pernikahan kami dan semua masalah
dihadapi dengan kesabaran. Dia sangat sabar. Bukan PNS. Mencoba
memahami setiap kebiasaan buruk saya. Selalu mau mencoba resep
masakan yang saya coba. Dia yang setia menjadi sahabat saya akhirnya.
Saya yakin Allah akan melancarkan semua urusan yang baik. Kalau
memang dia bukan yang terbaik untuk saya, Allah lebih punya cara
untuk menggagalkan pernikahan kami.
Walaupun
berbekal uang seadanya. Tak dapat gedung. Hanya punya 6 minggu untuk
mempersiapkan semuanya. Sekarang kami sudah sah secara hukum negara
dan agama sebagai pasangan suami istri. Padahal saya kira saya tak
akan menikah secepat ini. Memang, kalau Allah sudah berkehendak,
pasti terwujud. Janji kami, untuk menjadi suami istri, bukan hanya
janji kosong. Ada ijab dan kabul di sana sebagai perjanjian terkuat
yang akan mengikat kami selamanya. Hingga maut memisahkan.
Buat
siapa pun di luar sana yang belum menemukan tambatan hatinya.
Percayalah, jodoh tak akan lari ke mana, pasti ketemu di KUA.