Masihkah
kamu ingat hangatnya pelukanmu malam itu. Jemarimu bersentuhan dengan
jemariku. Membuatku percaya mengenai cinta. Satu hal yang rasanya
sudah kulupakan bagaimana rasanya. Sebab banyak kecewa yang mendera.
Aku tak yakin ada bahagia di dalamnya. Luka terus merajam hatiku yang
sudah remuk.
Kamu
tak pernah mengatakan aku cantik. Tak ada pujian sama sekali
seingatku. Tetapi tatapan matamu. Membuatku luluh. Lumer seperti es
krim di padang pasir. Kubiarkan diriku mengalir ke bahumu. Menikmati
semuanya tanpa suara. Aku yakin kamu tak tidur malam itu. Aku pasti
mendengkur sedemikian kerasnya. Bahkan aku yakin gigiku gemerutuk.
Kebiasaan saat tidur yang tak aku sadari.
Semalaman
itu tak terjadi apa-apa. Aku terus berada di dalam dekapanmu yang
hangat. Aku memang datang untuk bercerita. Bukan menginginkan dirimu
seutuhnya. Kita belum menikah. Tak ada pikiran bahwa kita akan
menunjukkan perasaan kita dengan cara yang berbeda.
“Apa
yang sudah terjadi jangan disesali.”
Aku
selalu mengingat ucapanmu. Setiap kali aku melakukan kesalahan aku
berusaha untuk tidak menyesal tetapi mengambil pelajaran dan mencoba
untuk tidak mengulanginya lagi. Untuk apa menyesal? Toh sudah
terjadi. Itu katamu. Lalu bagaimana dengan janji kita? Apakah kamu
menyesal tak memenuhinya sebelum dia datang memintaku untuk menikah
dengannya?