Kemudian
penantian itu seperti tiada ujungnya. Kamu berkicau di twitter.
Mengupdate status di facebook tapi tak sekalipun mencoba untuk
mengatakan sesuatu yang istimewa padaku. Apakah lelaki sepertimu
memang sedemikian sulit untuk menunjukkan perasaannya atau memang
rasa itu tak pernah ada.
Cinta
itu perlahan aku remas. Tapi kadang aku rapikan kembali. Berharap
memang ada balasannya. Aku membacanya malam itu dan aku tahu. Di
setiap aliran darahmu itu menderu karena keberadaanku. Aku yang sama
sekali tak memahami jalanan di kota yang mempertemukan kita saja
memberanikan diri untuk menunggumu.
Malam
itu kita bercerita panjang lebar sebelum akhirnya kita pulang membawa
kenangan yang tak akan pernah kita lupakan. Termasuk janji untuk
bertemu kembali. Kamu mengantarku sampai atas malam itu. Memelukku
untuk yang terakhir kalinya. Bahkan itu pelukan pertama kita.
“Jangan
buat muka macam tu, kite pasti berjumpe lagi.”
Aku
tak akan pernah lupa kata-katamu malam itu. Hari ini pahit rasanya
hanya bisa menunggu. Aku malu harus menghubungi terus lebih dulu. Aku
takut seperti mengubermu. Sementara kamu punya kesibukan sendiri yang
harus dikerjakan. Kamu seorang reporter dan itu bukan pekerjaan yang
mudah untuk dilakukan sambil menjawab chat perempuan yang berharap
kamu membalas pesannya dengan jawaban penuh cinta.