Aku
menarik tanganku yang sejak tadi dipegang oleh tukang cat itu.
Sekarang mataku menatap gambar yang tersaji di depan mataku. Cahaya
matahari pagi yang mulai terang membuat mataku silau. Tapi aku tahu
betul wajah siapa yang ada di sana. Semua orang akan menganggap itu
wajahku. Namun sebuah nama yang tertulis di sana bukan namaku. Jika
kita mundur beberapa langkah, gambar yang tergambar di sana, sudah
selesai pada akhirnya, akan lebih utuh. Semua orang akan melihat
wajahku. Tentu saja itu terlihat seperti wajahnya. Sebab ada orang
lain yang punya wajah yang serupa denganku.
“Sisca,
I love you.”
Tulisan
di bawah wajah itu membuatku lemas. Rasanya ada yang menusuk
jantungku. Sakit. Hingga ke bagian terdalamnya. Ternyata dia menyukai
Sisca. Untuk apa sekarang dia mengajakku ke sini? Untuk menilai hasil
lukisannya bagus atau tidak? Sejak kapan Sisca mengenalnya?
“Bagaimana?
Kamu suka?”
“Kenapa
tanyanya sama aku?”
Aku
menahan air mataku. Aku menyukainya sejak pertama melihatnya di
kereta waktu itu. Sekarang aku harus menerima kenyataan kalau dia
mencintai orang lain. Lebih menyakitkannya orang lain itu Sisca.
Perempuan yang lebih sempurna dariku. Hanya rupa yang tak jauh
berbeda. Aku tidak heran jika dia lebih memilih Sisca. Namun tak
adakah cara yang lebih menyakitkan untuk menyakitiku yang bisa dia
pilih? Setidaknya jangan melukis wajah yang aku miliki dengan nama
yang berbeda dengan ukuran yang sangat besar di dinding sebuah
bangunan.
“Tanya
saja sama Sisca.”
Air
mataku benar-benar jatuh saat aku berbalik dan berlari
meninggalkannya. Apakah dia menatap punggungku yang semakin menjauh
dari belakang? Aku tak tahu.