GalaxyExpress (Bagian 6)
GalaxyExpress (Bagian 7)
GalaxyExpress (Bagian 7)
.jpg)
Aku
tercenung di depan jendela kereta Galaxy Express. Memikirkan ucapan
Renno tadi malam. Bingung bagaimana akan bersikap di depan Rita yang
secara jelas mengatakan tentang perasaannya padaku. Aku sendiri?
Secara diam-diam bingung dengan keadaan yang menjebakku. Kalau bisa
aku ingin menghilang sejenak dari bumi dan memikirkan semuanya
baik-baik. Tanpa ada tekanan dari siapa pun. Napas panjangku mungkin
terdengar seisi kereta. Benar-benar panjang tarikannya.
“Bukumu
jatuh.”
Tangan
yang penuh cat terulur ke arahku. Memberikan sebuah buku kepadaku.
Ragu-ragu aku menerimanya. Buku itu masih baru. Sangat baru. Rasanya
buku yang asing. Aku mengangkat kepalaku dan menemukan wajah tukang
cat yang selalu ingin kulihat di dalam Galaxy Express ini. Kami
bertatapan beberapa detik hingga akhirnya dia tersenyum dan
memamerkan gigi putihnya dan sebentuk lesung pipi di kiri wajahnya.
Mempesona.
“Bukan
bukuku.”
Aku
mendorong buku itu ke arahnya.
“Bukumu.”
“Hari
ini aku tidak membawa buku apa pun kok. Lagi pula ini memang bukan
bukuku. Tidak mungkin aku lupa dengan bukuku sendiri.”
“Kamu
bisa bicara sepanjang itu?”
Aku
terdiam sejenak setelah menyadari mengeluarkan banyak sekali kata
untuk orang yang tak kutahu namanya ini.
“Biasanya
kamu hanya bicara sepotong-sepotong.”
“Jangan
mengalihkan pembicaraan. Ini bukan bukuku.”
“Untukmu.”
“Untukku?”
Aku mengerutkan dahiku bingung.
“Hadiah
dariku. Kamu suka sekali membaca buku kan?”
“Tapi...”
“Bacalah
dan tersenyumlah.”
Lagi-lagi
semua orang memintaku untuk tersenyum. Salahkah memiliki wajah yang
murung?
“Terima
kasih.”
“Hari
ini ikutlah denganku, ada yang ingin kutunjukkan padamu.”
“Maaf,
tidak bisa. Aku harus kerja.”
“Sebentar
saja.”
“Tapi...”
“Ayolah,
kamu tidak akan bisa bekerja dengan wajah seperti itu.”
“Tapi
hanya sebentar kan?”
“Sebentar
kok. Kamu boleh pulang setelah melihatnya.”
Galaxy
Express itu berhenti di stasiun yang kami tuju. Aku mengikuti
langkahnya yang besar-besar. Jalannya lumayan cepat. Aku setengah
berlari mengikutinya. Dia masih saja tersenyum dengan manisnya.
Bingung harus bagaimana. Dia memang bukan orang asing sebab aku
melihatnya setiap hari mampir ke toko roti tempatku bekerja. Tapi dia
juga bukan orang yang aku kenal sebab namanya sama sekali belum dia
sebut.
“Bersemangatlah!”
Kali
ini dia harus menarik tanganku. Debaran jantungku tak menentu. Dia
mengajakku ke mana?