Aku
mematikan semua lampu yang ada di dalam kamarku. Membeku di sudut
kamar tidur. Tersenyum dalam gelap. Menikmati semua kepekatan itu
dalam diam. Tak ada yang memahami bagaimana aku menyukai kegelapan
ini. Membuatku buta. Membuatku tak bisa menggunakan pancaindraku
dengan sempurna. Sebuah langkah terdengar cepat mendekati pintu kamar
yang kutempati. Bukan hanya kamarku. Ini kamar yang aku tempati
bersama saudara sepupuku.
“Claudia!”
dia berteriak nyaring.
Aku
menutup telingaku rapat-rapat. Sudah letih dengan semua teriakan yang
dia keluarkan setiap hari. Langkahnya berhenti di dalam kamar. Pintu
terbuka membuat angin dingin masuk dan menyergapku. Pasti di ruang
tengah sedang menyalakan pendingin ruangan. Suhu di kamar ini terasa
lebih hangat sebelumnya. Sekarang dingin.
“Nyalakan
lampunya!”
Aku
diam. Tak menjawab dan tak bergerak. Aku tak ingin menyerah dengan
teriakannya.
“Apalagi
sih kalian ini!” terdengar suara kakak sepupuku yang usianya dua
tahun di atas kami terganggu.
Aku
yakin dia sedang menonton sinetron favoritnya di ruang tengah.
Sendirian. Sebab orang tuanya belum pulang kerja. Terdengar bunyi
'klik' kecil di dinding. Lampu yang tadinya aku matikan sekarang
sudah menyala kembali.
“Tinggal
nyalakan saja, tak usah teriak-teriak! Ganggu!” kakak sepupuku itu
memperingatkan adiknya dengan teriakan yang lebih nyaring.
Aku
tersenyum sambil menutup wajahku dengan selimut. Berusaha mencari
kegelapan yang lain. Kakak sepupuku, Marsella, keluar dari kamar dan
membanting pintu kamar kami. Sepupu yang seumuran denganku itu
terlihat dari balik selimut tipis yang kugunakan untuk menutup
wajahku. Dia bergerak menyalakan lampu di meja belajarnya. Sekarang
semuanya menjadi terang kembali. Padahal aku berharap bisa menikmati
suasana dalam kegelapan ini dengan lebih tenang. Tanpa teriakan.
“Rhea...”
aku memanggilnya dengan suara bergetar.
“Apa?”
dia menyahut dengan kasar.
Aku
masih memperhatikannya dari balik selimut. Tersenyum. Tepatnya aku
menyeringai.
“Kamu
benci denganku?”
“Aku
benci kegelapan Claudia...” suaranya entah bagaimana menjadi
melunak dalam hitungan detik.
“Kegelapan
itu tenang, dengan berada di dalam gelap kita akan belajar untuk
menghargai cahaya. Dengan kegelapan pula kita tidak akan menilai
orang dari rupanya.”
“Tapi
aku tak bisa belajar dalam gelap Claudia.”
“Kamu
takut dengan kegelapan.”
“Aku
benci gelap...”
“Gelaplah
yang menyelamatkan kita hari itu Rhea.”
Sepupu
yang usianya sama denganku itu terduduk lemas di kursi. Suara-suara
itu. Dia pasti masih mendengarnya.
“Bunuh!”
“Bunuh!”
“Bunuh!”
Aku
pun masih mendengarnya. Tapi Rhea menyimpannya sebagai kenangan yang
sangat buruk. Dia sering mengigau dalam kegelapan. Aku sendiri
mengingatnya sebagai titik balik terbesar dalam kehidupanku. Saat itu
aku mendengarnya dengan jelas. Suara-suara orang yang menuju
kematian. Suara orang tuaku. Suara saudaraku. Suara pembantuku. Suara
pembunuh itu juga masih terdengar sangat jelas. Anehnya aku tak
meneteskan air mata sama sekali. Berbeda dengan Rhea yang menangis
meraung-raung melihat mayat yang bergelimpangan di ruang tamu dan
kamar tidur rumah kami.