![]() |
Foto oleh Heni Su |
Saat
di Ketapang dulu sebenarnya kami tak banyak menghabiskan waktu untuk
berjalan-jalan. Banyak sekali kegiatan kampus yang menyita waktu
termasuk kegiatan himpunan program studi bersama senior yang memang
sangat banyak. Dapat dibayangkan, mahasiswa yang masih dalam masa
ospek menjalani kehidupan sebagai mahasiswa PPM alias mahasiswa yang
memberikan Pengabdian Pada Masyarakat.
Saya
ingat sekali wkatu itu, tahun 2006 awal, kami sekelas, meskipun ada
beberapa yang tidak ikut karena berbagai alasan. Satu di antaranya
karena alasan tak punya biaya. Padahal ada satu orang yang sama
sekali tak memiliki biaya tetap bisa ikutan dan pada akhirnya tidak
perlu membayar karena pemerintah Kabupaten Ketapang memberikan uang
saku untuk kami semua sampai akhirnya bisa pulang kembali ke
Pontianak tanpa tambahan biaya dan tentu saja selama 9 hari bisa
makan gratis dua kali sehari. Entah mengapa waktu di sana kami selalu
merasa kelaparan sepanjang waktu. Ada saja yang membuat perut kami
keroncongan dan makan siang dan malam menjadi masa-masa yang sangat
ditunggu oleh semua orang.
Bukan
kami semua tak punya uang sebenarnya untuk membeli makanan tambahan,
tetapi kami jauh sekali dari pasar dan tak memiliki kendaraan. Kami
juga tak diperbolehkan bepergian sembarangan apalagi sendirian.
Maklumlah di rantau orang. Harus bisa menjaga sikap dan tata krama.
Takutnya ada masyarakat yang terganggu dengan keberadaan kami. Sebab
jangankan yang nyata, yang gaib saja lumayan terganggu dengan
keberadaan kami.
Beberapa
kali ada yang melihat penampakan bahkan sempat menjepret penampakan
tersebut dengan kamera ponselnya. Kami semua waktu itu tentu saja
sangat merinding. Apalagi kami sebenarnya diinapkan di gedung kosong
yang serba guna. Bahkan menurut senior yang berbicara dengan penduduk
sekitar, kasur yang kami gunakan sering digunakan pula untuk
menampung mayat atau orang sakit. Untungnya kami semua tahu hal
tersebut setelah pulang.
Namun
sebenarnya dibalik kisah seramnya masih banyak sekali keindahan yang
ditawarkan Kabupaten Ketapang. Sepanjang perjalanan menggunakan
klotok, sekitar 14-15 jam perjalanan melalui sungai kami
disuguhkan pemandangan yang sangat indah. Airnya yang berwarna hitam
tetapi tetap bersih seperti menyimpan misteri yang harus digali.
Belum lagi banyak tanaman yang kami lihat di pinggiran sungai yang
kami lintasi.
Saya
sendiri lumayan terganggu dengan teman-teman yang mengaku pusing dan
bahkan ada yang muntah-muntah sepanjang perjalanan. Padahal rasanya
perjalanan tersebut sangat menyenangkan. Banyak yang bisa dilihat dan
dilakukan. Apalagi inilah saatnya kami semua untuk mengenal lebih
dekat satu sama lain dengan teman sekelas.
Rumah
adat Melayu Ketapang yang ada di dalam gambar postingan ini menjadi
daya tarik sendiri bagi saya untuk datang kembali ke sini suatu hari
nanti. Menemukan hal-hal baru di sana dan mencicipi lebih banyak
makanan khasnya, langsung di kabupatennya. Rumah adatnya mirip dengan
keraton tetapi sangat kelihatan kalau rumah ini masih baru dan masih
indah sekali. Berbeda dengan keraton yang usianya sudah ratusan tahun
dan mau bagaimana merawatnya pun tetap akan kelihatan usianya yang
sudah menua.
Rumah
adat Melayu Ketapang ini adalah rumah adat Melayu yang kedua yang
saya ketahui ada di Kalimantan Barat. Untuk daerah lain sendiri saya
belum pernah melihatnya bahkan meskipun dalam bentuk gambar. Memang
masyarakat Melayu di Kalimantan Barat merupakan satu di antara tiga
suku terbesar yang ada di sini.tak heran apabila ada rumah yang
menjadi rumah adat Melayu itu sendiri.