Krisis
gula di Kalimantan Barat masih tak berkesudahan. Entah mengapa harus
terjadi. Masalahnya sederhana saja. Gula lokal harganya terlalu
tinggi dan gula impor ilegal harganya lebih terjangkau. Tidak semua
orang bisa membeli gula lokal yang harganya tinggi itu untuk
dikonsumsi. Belum lagi para pedagang kue yang pastinya ingin
menghemat atau menekan serendah mungkin modal yang dikeluarkan untuk
kuenya. Berapa harga yang harus dia patok untuk sepotong kue yang dia
jual?
Harga
karet yang murah membuat banyak petani karet kesulitan membeli gula.
Bayangkan, para petani karet tak akan mampu membayar harga satu kilo
gula pasir lokal dengan harga yang didapat dari satu kilo gram karet.
Semuanya tak sebanding. Itu yang membuat banyak masyarakat mendukung
adanya gula impor ilegal ini. Saya tahu hal ini memang keliru. Tetapi
semestinya pemerintah punya solusi untuk masyarakat menengah ke bawah
yang tetap ingin menikmati minuman yang mengandung gula. Apalagi
masyarakat menengah ke bawah yang dekat dengan perbatasan Indonesia –
Malaysia.
Mudahnya
mendapatkan gula impor ilegal juga menjadi hal yang paling mendasar
membuat warga tetap bisa menikmati gula tersebut. Sebab mendapatkan
gula dari petani lokal sangat sulit. Kecuali untuk gula yang dibuat
dipabrik besar dan dibanderol dengan harga yang sangat tinggi. Kalau
dipikir-pikir sebenarnya alasan masyarakat memilih gula impor ilegal
dibandingkan dengan gula lokal sangat sederhana.
Coba
bandingkan, harga gula lokal 18-20ribu/kg sedangkan gula impor ilegal
10-11ribu/kg bahkan bisa lebih murah apabila kita mengambil sendiri
ke tempat penampungan gula tersebut dalam jumlah besar. Kira-kira,
gula mana yang akan lebih dipilih oleh masyarakat? Manisnya sama
harganya sangat jauh berbeda. Hampir dua kali lipat bedanya. Gula
sendiri adalah kebutuhan pokok bagi semua orang. Kecuali orang yang
menderita diabetes.
Apabila
pemerintah tak bisa membendung impor ilegal bagaimana kalau impornya
lebih ditertibkan dan buatlah harga gula tersebut menjadi masuk akal
dan tetap legal. Sehingga pemerintah tidak kehilangan penghasilan
dari pajak barang impor yang masuk ke negara Indonesia dan masyarakat
tetap bisa menikmati gula yang manis dari negara tetangga. Bukankah
lebih baik kita mencari solusi, bagaimana baiknya dibandingkan harus
ada penyitaan dan membuat terjadinya krisis gula di Kalimantan Barat.
Ini
sangat tidak lucu mengingat Pontianak sendiri merupakan Kota Seribu
Warung Kopi. Lama-lama teh es satu gelas bisa 5.000 dan kopi pancung
juga akan naik harganya. Padahal selama ini harga teh es hanya
2.000-3.000. kenaikan harga gula akan berimbas pula pada banyak
usaha yang melibatkan butiran manis tersebut.
Manis
itu dari Malaysia karena selain harganya lebih murah, masyarakat bisa
mendapatkannya dengan sangat mudah. Jadi, sampai kapan di Kalimantan
Barat akan krisis gula. Bulan haji banyak yang melangsungkan
pernikahan dan tentu saja butuh banyak gula.
Tak
terbayangkan krisis ini tak kunjung selesai. Masyarakat juga yang
akan menderita. Memangnya gula yang disita itu mau diapakan? Dibuang?
Dibakar? Kan sayang. Barang yang bisa dimaasukkan dalam minuman
seperti itu malah terbuang sia-sia. Cari jalan tengah yang akan
menguntungkan kedua belah pihak. Pemerintah dan pengusaha yang
menjual gula impor ilegal ini. Sehingga masyarakat tidak menjadi
pihak yang dirugikan karena kesulitan mencari gula. Bahkan dengan
harga yang tinggi sekalipun mencari gula bukan perkara yang mudah.
Masihkah krisis gula in dibiarkan?
Saya
bingung sebenarnya. Tetapi untungnya, meskipun krisis gula,
pernikahan saya tetap akan dilangsungkan dengan modal 20 kilogram
gula simpanan ibu saya dari kampung.