Kisah pertama. Kisah kedua. Kisah ketiga. Kisah keempat. Kisah kelima. Kisah keenam. Kisah ketujuh. Kisah kedelapan. Kisah kesembilan. Kisah kesepuluh. Kisah kesebelas. Kisah kedua belas. Kisah ketiga belas. Kisah keempat belas. Kisah kelima belas. Kisah keenam belas.
Akhirnya
aku menginstall kembali aplikasi WeChat ke smartphoneku. Berharap aku
akan menemukan seseorang yang menjadi jodohku di sana. Setidaknya aku
bisa mengenal banyak lelaki yang bisa aku temui dan mengobati sedikit
luka hati yang masih mendera. Aku sendirian. Kesepian dan butuh
seseorang yang bisa aku ajak bicara secara langsung. Aku tak ingin
tenggelam di dalam semua kepatahhatian itu lalu lemas di dalamnya.
Aku ingin menjadi perempuan yang lebih kuat.
Beberapa
yang mengajak chat di WeChat memang menyebalkan. Banyak sekali yang
beranggapan aku bisa diajak melakukan hal-hal yang mereka inginkan.
Aku menarik napas panjang dan merasa bahwa WeChat ini akan menjadi
gerbang lelaki selanjutnya yang akan mematahkan hatiku. Membuatku
galau. Kemudian hidupku menjadi remuk redam. Tapi aku sudah tak
peduli. Aku rasa aku hampir gila. Aku membenci dan mengasari semua
yang ada di sana. Berharap emosiku yang tertahan bisa tersalurkan.
Emosi yang aku tahan sejak patah hati berbulan-bulan yang lalu.
Penolakan
keluarga besar lelaki yang tak kunjung melamarku itu membuatku
menjadi buas. Aku menjadi semakin tak peduli lagi. Mau siapa saja
yang menyapaku, sifat burukku semakin menjadi. Aku berharap bisa
membalas semua rasa sakit hatiku dengan membalas dengan jutek semua
orang yang ada di sana. Toh mereka orang-orang yang tak pernah aku
kenal. Bahkan kalau perlu aku akan membuat mereka semua jatuh cinta
lalu membuatnya patah hati. Hancur berkeping sehingga mereka juga
merasakan sakit yang pernah aku rasakan. Lalu aku bisa tertawa di
atas penderitaan mereka.
Suatu
hari lelaki itu tiba-tiba datang. Lelaki yang kemudian mengubah
segala pemikiranku tentang cinta dan sakit hati yang aku rasa. Dia
yang tiba-tiba menyapaku dan aku masih saja dengan rasa malas
membalas pesannya. Bahkan membalas dengan dingin semua komentarnya di
momentku. Aku masih tak peduli. Sampai akhirnya suatu malam dia
membuatku penasaran dengan koran yang dia baca dan memuat status di
akun twitterku. Padahal selama ini aku tak pernah dimintai oleh koran
mana pun untuk mengutip twit tersebut dan memajangnya di koran.
Aku
mendatangi kantornya untuk mengambil koran tersebut. Membaca langsung
twitku yang terpajang di sana. Aku penasaran. Benar-benar penasaran
dengan siapa yang memuatnya di sana. Lalu aku melihat wajah hangat
itu. Wajah lelaki yang tiba-tiba membuat hatiku yang sempat dingin
terhadap lelaki, sempat menjadi mahluk yang ingin menyakiti semua
lelaki yang hadir di dalam hidupku, mencair. Cair lalu berubah
menjadi hangat. Aku tak bisa memasang topeng jahat itu lagi. Aku
luluh melihat wajah yang menawarkan kehangatan hingga menembus
jantungku yang paling dalam.
Sesaat
aku merasa ada yang berbeda dengannya. Sejenak aku merasakan hawa
panas yang mengalir di dalam tubuhku hingga membuatku tersenyum
sepanjang waktu. Aku yang sebelumnya menjutekinya, bahkan lupa pernah
menjutekinya sekarang menjadi orang yang sangat hangat padanya.
Bahkan saat melihat senyumnya, selamanya aku ingin melihat senyum
itu. Tak ada senyuman lain lagi yang ingin aku lihat. Dia yang
sederhana dan terlihat tak percaya diri dengan dirinya sendiri
meruntuhkan tembok pertahananku untuk tidak jatuh cinta. Perlahan
tembok itu runtuh di hadapannya. Aku tersenyum lagi dengan tulus
untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dia yang berhasil
membuatku menjadi diriku yang dulu. Bagian diriku yang sempat
terlelap di dalam hawa yang sangat dingin. Sekarang terbangun dari
mimpi panjangnya tentang cinta dan taman bunga.